Minggu, 21 Oktober 2012

Materi Kuliah ke-1


Secara umum, pokok bahasan pada bab ini adalah mengenai proses perencanaan, yang dipaparkan menjadi beberapa sub bab, yaitu bahasan tentang definisi, manfaat, dan proses perencanaan itu sendiri. Diawali dengan paragraf yang mengemukakan bahwa definisi dari proses manajemen yang paling sering digunakan oleh publik adalah definisi yang diusung oleh Henri Fayol (hal. 3), penulis buku ini mencoba untuk memberikan pemahaman pada pembaca bukunya bahwa ‘perencanaan’ adalah pondasi dari proses manajemen (planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling). Dan tanpa tujuan yang terarah dan pembatasan melalui kebijakan-kebijakan mengenai perilaku organisasi, maka seorang administrator tidak akan memiliki petunjuk yang pasti dalam menetapkan kebijakan-kebijakan organisasi. Implikasinya, organisasi tersebut akan berjalan dengan penuh ketidakpastian. Dalam hal ini, ‘perencanaan’ dipandang berperan sebagai petunjuk-petunjuk yang pasti diatas semua ketidakpastian yang mungkin ditemui oleh seorang administrator dalam sebuah organisasi. Perencanaan adalah sebuah mekanisme dimana sebuah sistem dapat beradaptasi dan mengimplementasikan perubahan. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Knezevich (hal 4) bahwa organisasi menghadapi suatu lingkungan yang dinamis, kebutuhan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan perkembangan peran organisasi, serta kebutuhan untuk menghubungkan organisasi dengan sistem lingkungan yang beragam sehingga membuat fungsi perencanaan menjadi kritis, yaitu sebagai prioritas yang harus diutamakan.
D e f i n i s i P e r e n c a n a a n
Perencanaan sendiri bertujuan untuk menjadi jembatan antara teori dengan praktek, dan digunakan untuk mengontrol masa depan melalui apa-apa yang dilakukan pada masa ini. Melalui perencanaan tersebut, seorang administrator juga dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, dan membuat periodisasi aksi dalam meraih tujuan organisasi. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Henri Fayol, Luther Gulick, dan Edward Banfield, maka perencanaan dapat didefinisikan sebagai (hal 5) sebuah proses dalam memilih dan menghubungkan antara teori dengan asumsi yang terkait dengan masa depan, dan bertujuan untuk melakukan visualisasi dan formulasi tentang keluaran yang ingin dicapai; perencanaan merupakan sebuah proses yang periodik dan dilakukan untuk mencapai hasil tertentu serta untuk membatasi perilaku-perilaku yang dapat dilakukan dalam proses pencapaian hasil tersebut.
M a n f a a t P e r e n c a n a a n
Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi, entah prosesnya terjadi secara cepat, lambat, atau bahkan sepertinya sangat tidak mungkin terjadi sekalipun. Bagaimanapun juga, tidak ada sesuatu yang statis, dan perubahan tersebut selalu menjadi masalah bagi seorang administrator. Terlepas dari masalah yang dapat diprediksi maupun tidak dapat diprediksi oleh seorang administrator, perencanaan adalah alat yang akan sangat membantu untuk beradaptasi dengan beragam inovasi untuk menyelesaikan konflik, mengubah pendekatan lama, melakukan upgrading, melakukan improvisasi komunikasi, dan untuk meraih berbagai macam keluaran yang diharapkan (hal 5), senada dengan apa yang diungkapkan oleh Morphet, Jesser, dan Ludha (hal 6). Dan prosedur perencanaan yang tepat dapat menghasilkan identifikasi akan kesalahan-kesalahan penyesuaian yang telah dilakukan maupun kekurangan-kekurangan atau hal-hal lain yang mungkin menjadi penyebabnya.
Perencanaan, oleh WG Cunningham, dikaitkan dengan pengukuran hasil kinerja sebuah organisasi, yaitu sejauh mana hasil kinerja organisasi tersebut dapat memenuhi keinginan publik (hal 6). Tentunya proses perencanaan akan sangat menentukan hasil akhirnya, sehingga kemampuan seorang administrator dalam memodifikasi perencanaan karena terjadinya hal-hal yang tidak terduga, sangatlah penting. Tetapi, bagaimanapun juga, perencanaan yang kurang tepat masih lebih baik daripada tidak ada perencanaan sama sekali, karena rencana yang kurang tepat tersebut masih dapat diperbaiki tentunya.
Ada dua model perencanaan yang disebut-sebut sebagai perencanaan reaktif dan perencanaan proaktif (hal 6-7). Perencanaan reaktif, sesuai dengan definisinya secara linguistik, terjadi bila ditemui masalah dalam selama perjalanan organisasi. Sementara perencanaan proaktif adalah perencanaan yang dilakukan untuk mengantisipasi masalah. Kedua-duanya menuai kritik sehingga akan jauh lebih baik bila dalam penerapannya dapat dilakukan sinergi. Meskipun secara teori, tentunya perencanaan proaktif (walaupun menuntut inovasi dan kreatifitas yang tinggi) jauh lebih baik daripada perencanaan reaktif yang sifatnya hanya reaksioner.
Andreas Faludi menambahkan pernyataan bahwa perencanaan yang fungsinya sangat penting bagi pertumbuhan seorang individu, yaitu dalam menyediakan sebuah kesempatan untuk pengembangan dan pengaturan individu (hal 7). Secara umum, dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa perencanaan memiliki banyak sekali manfaat bagi seorang administrator sehingga lebih baik dilakukan jika tidak ingin kehilangan banyak kesempatan.
P r o s e s P e r e n c a n a a n
Perencanaan sendiri bukanlah merupakan sebuah proses yang terjadi secara otomatis. Dan telah cukup banyak model dikembangkan untuk mendapatkan sebuah perencanaan yang efektif. Ada beberapa paradigma yang harus dibangun terkait dengan proses perencanaan, salah satunya adalah seperti yang ditawarkan oleh Robinson (hal 8)berikut ini: adanya tujuan yang jelas, ada formulasi alternatif-alternatif, ada prediksi mengenai hasil akhir, ada evaluasi dan seleksi terhadap pilihan-pilihan alternatif, dan yang terakhir tentunya: ada implementasi dari keseluruhan proses perencanaan tersebut. Larson (hal 8)juga menambahkan bahwa antara teori dan praktek harus sesuai karena terkadang banyak administrator yang menjadi ‘pemimpi’ sebab dituntut untuk menyelesaikan sebuah perencanaan jangka panjang di atas kertas tetapi sangat jauh dari implementasi. Alasan yang sering digunakan biasanya seragam, semisal: ‘masih dalam proses implementasi’ atau ‘sumber daya manusia untuk mengimplementasikan rencana tersebut masih sangat terbatas’. Administrator-administrator ‘nakal’ tersebut yang sering membuat perencanaan menjadi proses yang tidak efektif. Sehingga, bagaimanapun bentuknya, perencanaan harus berorientasi aksi agar dapat direalisasikan dalam bentuk yang nyata.
Bushnell (hal 9) mengungkapkan bahwa untuk mencapai keberhasilan, inovasi tidak hanya harus dilakukan pada ‘apa yang harus diubah’ namun juga pada ‘bagaimana sebuah perubahan tersebut dilakukan’. Selain itu, ia juga menyebut-nyebut bahwa perencanaan yang berorientasi aksi sebagai sebuah pendekatan ‘baru’ yang dapat membangun proses perencanaan kedalam seluruh sistem manajemen. Model perencanaan yang digambarkan pada bagan 1.2 (hal 10) tersebut, mirip dengan teori yang pernah dinyatakan oleh Russell Ackoff (hal 9), yang berdasarkan pada 4 tahapan perencanaan sebagaimana berikut: akhir perencanaan yang merupakan proses penentuan hasil (1), alat perencanaan yang merupakan metode aksi (2), sumber daya perencanaan yang merupakan proses pemerolehan sumber daya yang diperlukan seperti bahan mentah, dana, dst (3), dan perencanaan organisasi atau proses pembentukan dan penyesuaian hubungan antar individu dan kelompok (4). Ackoff juga mengklasifikasikan hasil perencanaan sebagai konsentrasi strategis, sementara konsentrasi operasional atau taktis terdiri dari: alat, sumber daya, dan perencanaan organisasi. Proses perencanaan dalam buku ini berada dalam kisaran 8 pertanyaan sebagai berikut: (1) dimana kita berada? (2) kemana kita ingin pergi (meraih tujuan)? (3) sumber daya apa yang kita miliki untuk dapat meraih tujuan tersebut? (4) bagaimana cara kita mencapai tujuan kita? (5) kapan tujuan tersebut akan tercapai? (6) siapa saja yang akan bertanggung jawab? (7) apa saja implikasinya terhadap sumber daya yang ada? (8) data apa saja yang dibutuhkan untuk mengukur kemajuannya?
Penulis buku ini juga berpendapat bahwa bagaimanapun latar belakang dan setting perencanaan dalam tiap organisasi, proses perencanaannya secara umum dapat digeneralisasi dalam gambar tersebut. Dan jawaban dari kedelapan pertanyaan tersebut harus ditulis dalam format yang jelas agar dapat menjadi petunjuk pelaksanaan aktifitas organisasi.
RINGKASAN BAB 2
Pokok bahasan dalam bab ini terbagi dalam beberapa sub bab. Selain membahas mengenai perbedaan antara perencanaan strategis dengan perencanaan operasional sebagai pengantar, pokok bahasan lainnya adalah mengenai perencanaan bottom up versus perencanaan top down, sumber daya finansial, sumber daya manusia, komunikasi, dan kompetensi profesional serta hasil kinerja yang efektif.
Dua pokok bahasan utama dalam perencanaan sebagai sebuah tema besar dalam buku ini adalah perencanaan strategis dan perencanaan operasional. Perencanaan strategis dalam sebuah organisasi merupakan hal yang wajib sementara perencanaan operasional berfungsi sebagai piranti strategi yang bersifat praktis untuk memastikan bahwa organisasi berada dalam koridor yang benar.
Perencanaan strategis diartikan sebagai suatu proses penentuan tujuan organisasi baik dalam perubahannya maupun sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan. Kebijakan organisasi sendiri berfungsi sebagai motor dalam meraih hasil, pendayagunaan, dan disposisi sumber penghasilan. Tujuan-tujuan strategis dianggap mengacu pada keberlangsungan sebuah organisasi, sumber masa depan yang potensial, fleksibel dan bisa beradaptasi dengan setiap perubahan zaman. Tujuan strategis dinilai sebagai tujuan masa depan yang berorientasi pada klien dan kebutuhan eksternal. Perencanaan strategis menentukan karakter dan tujuan organisasi berdasarkan sistem dan nilai.
Perencanaan operasional merupakan proses administrasi yang memastikan bahwa sumber-sumber yang diperoleh berjalan efektif dan effisien untuk menyempurnakan tujuan strategis. Perencanaan operasional harus dipusatkan pada sumber daya yang ada, masalah-masalah operasional dan stabilitas organisasi. Perencanaan operasional lebih mengacu pada tujuan yang bisa diukur dan bisa dipertanggung jawabkan. Tujuan operasional pada umumnya berhubungan dengan program, proyek, orientasi staf dan karyawan yang ditujukan pada kebutuhan kegiatan internal dan hasil akhir. Perencanaan operasional didesain untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan dengan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya yang ada secara terorganisir dan tersosialisasikan dengan baik dan tidak menyimpang dari ranah kebijakan organisasi.
P e r e n c a n a a n B o t t o m U p v s P e r e n c a n a a n T o p D o w n
Agar proses perencanaan dapat berjalan dengan baik maka perencanaan strategis harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum mengembangkan dan mengimplementasikan tujuan operasional. Tujuan operasional tidak seharusnya dikembangkan dengan meletakkan tujuan strategis sebagai sumber utama. Tujuan operasional dalam hal ini menggambarkan sempitnya keinginan dan spekulasi dan mengarah pada hilangnya kerjasama yang tidak konsisten. Pada akhirnya, administrator pada level atas terpaksa memperbaiki dan memadukannya dengan perencanaan operasional yang disebut sebagai perencanaan strtegis. Kecenderungan semacam ini menyebabkan administrator pada level atas memodifikasi dan menyempurnakan perencanaan operasional dari pada mengembangkan perencanaan strategis yang terkoordinir.
Sementara itu, manajer operasional lebih fokus terhadap penyempurnaan, modifikasi dan penggabungan perencanaan operasional yang akan menjadi benang merah untuk administrator pada level atas. Namun terkadang mereka membuat sebuah perencanaan yang kurang logis bagi organisasinya. Dan bila sebuah perencanaan berangkat dari level bawah menuju level atas, WG Cunningham beranggapan bahwa tidak akan pernah ada titik temu diantara keduanya karena tujuan strategis yang dibangun dari level bawah tentunya tidak akan pernah diakui oleh administrator pada level atas. Tidak akan terjadi atmosfir yang baik saat perencanaan operasional harus dimodifikasi untuk mengeliminir fragmentasi. Walaupun keterbatasan sumber daya juga akan mengambil peran untuk memodifikasi perencanaan tersebut. Oleh sebab itu, seluruh usaha perencanaan akhirnya menjadi dalih operasional bagi tiap individu yang kurang berkenan dengan proses perencanaan dan memandang administrator pada level atas begitu otokratif dan terlalu campur tangan.
Selain dapat menjadi penyebab dalam permasalahan antar indidvidu, model perencanaan bottom up dalam perencanaan strategis oleh WG Cunningham dianggap tidak efektif dengan modifikasi yang sulit diterapkan. Sebab tujuan utamanya adalah konsolidasi dan koordinasi individu yang mengetahui ketika perencanaan mereka diubah maka seluruh proses perencanaan dipandang secara skeptis. Dengan kata lain administrator pada level atas akan tidak dipercayai oleh personel yang berada pada level bawah. Kurangnya komitmen dalam proses perencanaan mengakibatkan pemetaan konflik dan tidak efektifnya sistem perencanaan. Hasil ini dianggap akan berdampak pada tidak adanya rasa saling percaya antara kedua kubu sehingga saling menyalahkan satu sama lain. Sebab itulah, dalam buku ini, WG Cunningham lebih banyak memberikan porsi bahasan pada perencanaan top down yang dianggap olehnya sebagai model perencanaan yang sangat ideal, praktis, dan dapat memastikan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi.
Dalam gambar berikut dideskripsikan bahasan utama yang menjadi piranti dalam perencanaan operasional dan perencanaan strategis: