Kamis, 27 Oktober 2011

HUKUM MEMINTA JABATAN

(Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Rasulullah pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”.
Hadist ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhori dalam shahih-nya no.7146 dengan judul ”Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no.7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapatkan pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no.1652 yang diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi “Bab larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih bekaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari, ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin” Mendengar permintaanku tersebut,beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.”
(shahih, HR Muslim no.1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang* dan janganlah engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.”(Shahih, HR.Muslim no.1826)
Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadist Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadush shalihin, Bab “ Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.

◘ Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khusunya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah(uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sunggguh benar sabda Rasulullah, ketika beliau menyamapikan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah :
“ Sesungguhnya kalian akan nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan”.(Shahih, HR. Al-Bukhari no.7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri dihadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ’calon pemimpin’ di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap seabagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal’afiyah.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan Fathul Bari (13/135):”Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar dipermukaan bumi .
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti diatas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah berfirman:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertaqwa.”(Al-Qashash: 83)
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Allah mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’(merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi dimuka bumi yakni tidak menyombongkan diri dihadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan ditengah-tengah mereka.”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/412).
Berkata syaikh Ibnu ‘Ustaimin: “seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya dihadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagianya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepempinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibarat belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanyalah kebaikan. Namun ketika jabatan berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah ’musang berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan seperti lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
”Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas ditengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi” (HR. Atirmidzi no.2482,dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178).
◘ Sifat seorang pemimpin
Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi atau jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar diatas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadist abu Dzar yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah bersabda kepada Abu Dzar: ”Wahai Abu Dzar engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya.
Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan sebaliknya, bila ia seoarang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan sebuah nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin berkata: ”Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seseorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari arti ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah dihadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batas-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.”
(Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472).
Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan dalil :
”Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya .”( Al-Qashash: 26 )
Penguasa Mesir berkata kepada Nabi Yusuf ’alaihissalam:
”Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dapat dipercaya pada sisi kami. ”(Yusuf: 54)
Allah menyebutkan sifat Jibril denggan menyatakan: ”Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia(Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang memiliki ’Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya.”(At-Takwir: 19-21)
Beliau (Syaikh ’Utsaimin) berkata: ”Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia” Allah berfirman :
”Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal 12-13)
Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai Imam(pemimpin) bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata:’(Dan saya mohon juga)’ dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janjiku ini tidak mengenal orang-orang yang zalim’.” (Al-Baqarah: 124)
Beliau berkata: “sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang Imam(pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.”(Al-jami’li Ahkamil Quran,2/74).
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan disini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain dapat kami paparkan.
◘ Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan

Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah juga bersabda:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya:’Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?’ Beliau menjawab: ’Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.”(Shahih, HR. Al-bukhari no.59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa berkata: ”Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata: ’Angkatlah kami sebagai pemimpin,wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah:
”Kami tidak meyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.”
(HR. Al-Bukhari no.1733 Muslim)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Abdurrahman bin Samurah diatas: ”bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu(tidak akan ditolong). Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap.”
(Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari,13/133, Nailul Authar, 8/294).
Asy-syaikh ibnu ’Utsaimin berkata: ”Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi janganlah ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarah Riyadhus Shalihin,2/470).
Al-Imam an-Nawawi berkata ketika mengomentari hadist Abu Dzar: ”Hadist ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau mungkin ia pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun yang oarang yang pantas menjadi pemimpin dan ia dapat berlaku adil, maka ia akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadist-hadist yang shahih, seperti hadist: ”Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, diantaranya Imam(pemimpin) yang adil”. Dan juga hadist yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada diatas mimbar-mimbar dari cahaya. Dengan demikian pula hadist-hadist yang lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah memperingatan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211).
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf kepada penguasa Mesir:
”Jadikanlah aku bendaharawan negara(Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”(yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatkan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Tafsir Al-karimirrahman, hal.401).
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: ”Nabi Yusuf karena kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang dengan syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu diperbolehkan.”(Nailul Authar, 8/294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan ini nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: ”karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
◘ Faedah Hadist
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk dapat mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/kedudukan adalah orang yang menolak ketika diseerahkan kepemimpinan, jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang dibawah kepemimpinannya dan tidak boleh menghianati amanah tersebut.
4. Keutamaaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinannya dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memperhatikan hak orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
{Sumber: Majalah Asy-Syariah, vol I/No. 06/maret 2004/ Muharram 1425 H, hal.40-45}

Sabtu, 22 Oktober 2011

UTS Matematika 1

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL TAHUN 2011/2012
Mata Kuliah : Matematika I
Semester / Prodi : I / S.1 - PGMI

Kerjakan dengan singkat dan jelas!

1. Jelaskan dengan singkat karakteristik matematika sekolah !
2. Mengapa siswa belajar matematika?
3. Buatlah 5 buah pernyataan beserta nilai kebenarannya
4. Buatlah table kebenaran dari pernyataan :
a. (p ٧ q) ↔(~p Λ ~q)
b. p → (p ٧ q)
5. Buatlah ingkaran dari pernyataan :
a. Segitiga ABC adalah siku-siku dan sama kaki
b. Garis a dan b sejajar atau berpotongan
c. Jika mandor tidak dating maka ada kuli yang pulang
d. Jika AC tegak lurus BD maka ABCD laying-layang
e. Jika x bilangan real dengan x < 2 maka X2 < 4
6. Tunjukkan dengan table kebenaran bahwa pernyataan di bawah ini ekuivalen:
a. p Λ (p V q) ≡ p
b. p ↔q ≡ (~p V q) Λ (p V ~q)
7. Gunakan kuantor untuk pernyataan di bawah ini :
a. Setiap bilangan bulat genap atau ganjil
b. Terdapat matriks A dan B sehingga AB = BA (A dan B matriks berordo 2 x 2)
c. Untuk semua bilangan real x ada bilangan real y sehingga x + y = 0
8. Buatlah ingkaran dari pernyataan di bawah ini, kemudian tentukan nilai kebenarannya :
a. (V x ϵ R), X3 > x
b. (E x ϵ A), 2< x < 5
c. (E x ϵ R) (E y ϵ R), sin (x+y) = sin x + sin y
d. (V x ϵ R) (E y ϵ R), x + y = y

UTS Statistik dan Peluang

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL
( U T S )
TAHUN AKADEMIK 2011/2012

Mata Kuliah : STATISTIKA & PELUANG
Prodi / Semester : S.1 - PGMI / III reguler dan V Konversi



Kerjakanlah secara singkat dan jelas !

1. Jelaskan perbedaan pengertian statistik dan statistika !

2. Apakah statistik dapat dipergunakan untuk memprediksi suatu masalah ? Jika dapat, berikan contohnya dalam bidang pendidikan.

3. Sebutkan perbedaan antara data nominal dan data ordinal !

4. Berikan contoh data kuantitatif dan data kualitatif dalam bidang pendidikan !

5. Diketahui sejumlah data tentang skor ujian mata kuliah Statistik berikut ini :

50, 56, 91, 90, 48, 62, 86, 50, 48, 75
82, 52, 63, 88, 43, 75, 74, 85, 53, 73
89, 48, 73, 85, 87, 55, 38, 71, 72, 84
60, 65, 58, 81, 74, 75, 90, 60, 68, 60
82, 78

Buatlah :
a. Tabel distribusi data tunggal
b. Tabel distribusi frekuensi kumulatif “kurang dari”
c. Tabel distribusi relative
Buatlah Histogram dan Poligon frekuensinya

6. Dari data soal nomor 5. Hitunglah : Rata-rata, Median, dan Modus.

7. Carilah variansi dan simpangan baku data berikut ; 16, 14, 12, 13, 15, 18, 24, 8, 10, 5.

8. Diketahui tabel distribusi frekuensi hasil ujian mata kuliah statistik, berikut :

No Nilai f
1 10-14 2
2 15-19 4
3 20-24 7
4 25-29 5
5 30-34 2
Hitunglah :
a. Q1, Q2, dan Q3
b. D6, P21, dan P76

9. Bandingkan nilai ujian mata kuliah statistik antara nilai seperti soal no. 5 dengan nilai seperti soal no. 8 dengan menggunakan Skor-Z ?

Senin, 10 Januari 2011

Soal-soal Program Linear

Berikut ini adalah soal – soal Program Linier yang saya ambil dari soal Ujian Nasional tahun 2000 s.d. 2007

1. Luas daerah parkir 1.760 m2. Luas rata – rata untuk mobil kecil 4 m2 dan mobil besar 20 m2. Daya tampung maksimum hanya 200 kendaraan, biaya parkir mobil kecil Rp. 1.000,00/jam dan mobil besar Rp. 2.000,00/jam. Jika dalam satu jam terisi penuh dan tidak kendaraan yang pergi dan datang, maka hasil maksimum tempat parkir itu adalah ….
a. Rp. 176.000,00.
b. Rp. 200.000,00.
c. Rp. 260.000,00.
d. Rp. 300.000,00.
e. Rp. 340.000,00.
Soal Ujian Nasional tahun 2007
2. Seorang pedagang menjual buah mangga dan pisang dengan menggunakan gerobak. Pedagang tersebut membeli mangga dengan harga Rp. 8.000,00/kg dan pisang Rp. 6.000,00/kg. Modal yang tersedia Rp. 1.200.000,00 dan gerobaknya hanya dapat memuat mangga dan pisang sebanyak 180 kg. Jika harga jual mangga Rp. 9.200,00/kg dan pisang Rp. 7.000,00/kg, maka laba maksimum yang diperoleh adalah ….
a. Rp. 150.000,00.
b. Rp. 180.000,00.
c. Rp. 192.000,00.
d. Rp. 204.000,00.
e. Rp. 216.000,00.
Soal Ujian Nasional tahun 2006
3. Tanah seluas 10.000 m2 akan dibangun rumah tipe A dan tipe B. Untuk tipe A diperlukan 100 m2 dan dan tipe B diperlukan 75 m2. Jumlah rumah yang akan dibangun paling banyak 125 unit. Keuntungan rumah tipe A adalah Rp. 6.000.000,00/unit dan tipe B adalah Rp. 4.000.000,00/unit. Keuntungan maksimum yang dapat diperoleh daru penjualan rumah tersebut adalah ….
a. Rp. 550.000.000,00.
b. Rp. 600.000.000,00.
c. Rp. 700.000.000,00.
d. Rp. 800.000.000,00.
e. Rp. 900.000.000,00.
Soal Ujian Nasional tahun 2005 kurikulum 2004
4. Suatu tempat parkir yang luasnya 300 m2 digunakan untuk memarkir sebuah mobil dengan rata – rata 10 m2 dan untuk bus rata – rata 20 m2 dengan daya tampung hanya 24 kendaraan. Biaya parkir untuk mobil Rp. 1.000,00/jam dan untuk bus Rp. 3.000,00/jam. Jika dalam satu jam tempat parkir terisi penuh dan tidak ada kendaraan yang dating dan pergi, hasil maksimum tempat parkir iru adalah ….
a. Rp. 15.000,00.
b. Rp. 30.000,00.
c. Rp. 40.000,00.
d. Rp. 45.000,00.
e. Rp. 60.000,00.
Soal Ujian Nasional tahun 2005
5. Nilai maksimum fungsi obyektif 4x + 2y pada himpunan penyelesaian system pertidaksamaan x + y 4, x + y 9, –2x + 3y 12, 3x – 2y 12 adalah ….
a. 16
b. 24
c. 30
d. 36
e. 48
Soal Ujian Nasional tahun 2004
6. Nilai maksimum fungsi sasaran Z = 6x + 8y dari system pertidaksamaan 4x + 2y 60, 2x + 4y 48, x 0, y 0 adalah ….
a. 120
b. 118
c. 116
d. 114
e. 112
Soal Ujian Nasional tahun 2003
7. Untuk menambah penghasilan, seorang ibu setiap harinya memproduksi dua jenis kue untuk dijual. Setiap kue jenis I modalnya Rp. 200,00 dengan keuntungan 40%, sedangkan setiap kue jenis II modalnya Rp. 300,00 dengan keuntungan 30%. Jika modal yang tersedia setipa harinya adalah Rp. 100.000,00 dan paling banyak hanya dapat memproduksi 400 kue, maka keuntungan tersbesar yang dapat dicapai ibu tersebut adalah ….
a. 30%
b. 32%
c. 34%
d. 36%
e. 40%
Soal Ujian Nasional tahun 2002
8. Nilai minimum fungsi obyektif 5x + 10y pada himpunan penyelesaian system pertidaksamaan yang grafik himpunan penyelesaiannya disajikan pada gambar di bawah ini adalah ….

a. 400
b. 320
c. 240
d. 200
e. 160
Soal Ujian Nasional tahun 2001
9. menyusul
Kunci jawaban dapat dilihat di http://matematika-sma.blogspot.com

Soal-soal Matematika

Rabu, 05 Januari 2011

Naturalist Inquiry and Grounded Theory

Naturalist Inquiry and Grounded Theory
Barney G. Glaser
Abstract: The world of Qualitative Data Analysis (QDA) methodology became quite taken with LINCOLN andGUBA's book "Naturalistic Inquiry" (1985). I have no issue with it with respect to its application to QDA; it helped clarify and advance so many QDA issues. However, its application to Grounded Theory (GT) has been a major block on GT, as originated, by its cooptation and corruption hence remodeling of GT by default. LINCOLN andGUBA have simply assumed GT is just another QDA method, which it is not. In "The Grounded Theory Perspective II" (GLASER 2002a, Chapter 9 on credibility), I have discussed "Naturalist Inquiry" (NI) thought regarding howLINCOLN and GUBA's notion of "trustworthy" data (or worrisome data orientation) and how their view of constant comparison can and has remodeled and eroded GT. In this paper I will consider other aspects of NI that remodel GT.
Key words: qualitative data analysis, naturalist inquiry, grounded theory
Table of Contents
1. What is Truth?
2. Axioms
3. More Details
3.1 Paradigms
3.2 Research design
4. Mutual Shaping
5. Grounded Theory
6. Final Comment
References
Author
Citation

1. What is Truth?
"Naturalistic Inquiry" (NI) deals with a fundamental problem: "the concept of truth" (LINCOLN & GUBA, 1985, Chapter 1). LINCOLN and GUBA formulate truth as "a systematic set of beliefs, together with their accompanying methods, a paradigm." They say, "a paradigm is a world view" which produces a methodology that arrives at a current set of beliefs. As such a paradigm arrives at a current truth! Then LINCOLN and GUBAtake paradigm use very eruditely through three "paradigm eras, (pre-positivist, positivist, and post-positivist) periods in which certain sets of beliefs guided inquiry in quite different ways." They say "that if a new paradigm of thought and belief is emerging, it is necessary to construct a parallel new paradigm of inquiry." Each paradigm as it emerges comes to "true understanding" and to "ultimate truth." LINCOLN and GUBA assert that their book is in the third paradigm, post-positivism, in an "effort to mark out (their) place along the path to understanding." And as "theories are remarkably immune to change," thus "any conflicting fact can be accommodated by making adjustments. As paradigms are assaulted by facts that do not fit, the facts can be walled off." This, of course, opposes Grounded Theory (GT) methodology, which compares all facts to conceptualize a place in the emerging theory. (The quotes in this paragraph come from Chapter 1, pp.15-31.) [1]
Being drawn into this discussion of arriving at facts by changing methodology simply remodels GT, particularly from the naturalist post-positivist view which asserts the reverse of positivism, that is constructivism, regarding arriving at "relative" truths or facts. The reader can easily read their discussion. But this discussion, however it may be relevant to Qualitative Data Analysis (QDA) as it evolves into constructivism, is not applicable, even relevant to GT (see GLASER, 2002b). [2]
First, LINCOLN and GUBA's (1985) discussion's underlying pattern simply focuses on changing views of worrisome accuracy, but always accuracy. It does not address the abstract nature of GT, which does not deal in facts or findings, but generates concepts that apply as explanations. The concepts are not facts, as I have reiterated over and over. They are variables that vary and are modifiable. They are integrated into a theory, which results in interrelated categories and their properties, highly applicable but not factual. [3]
Second, GT does not generate an immune theory—immune to facts, which is, of course, a major problem of received theory. GT is inducted from systematically collected facts, which in the process for generating GT from data, constantly verifies its fit, relevance and workability, and adjusts (modifies the concepts and their relationships) the theory to the facts to achieve fit, relevance and workability. New facts are not "walled off." They are compared into the GT to generate concepts. Thus a GT can be generated with whatever the paradigm and the methodology for achieving it, as "all is data" about whatever is going on (see GLASER, 1998). GT is a flexible, conceptual, inductive methodology abstract ofLINCOLN and GUBA's (1985) discussion on finding the right truth, belief, to wit their focus on worrisome accuracy. GT generates concepts from systematically collected data, as opposed to LINCOLN and GUBA's position that post-positivism generates descriptive facts that are effected by the way extant theory allows the researcher to see them. [4]
"Meanings are determined by theory, they are understood by theoretical coherence rather than by facts," LINCOLN and GUBA (1985) say quoting HABERMAS (LINCOLN & GUBA, 1985, p.36). In contrast, GT generates theory, say processes, ranges or binaries, that may have very different meanings to varied people. For example the meaning of pseudo-friending as a mechanism of client control, will have varied meanings to clients—such as toning, sounding phony, turning off, easing the tension, irresistible, sweet talking, making comfortable, etc, but whatever the meaning, pseudo-friending goes on (see GUTHRIE, 2000). [5]
GT abandons the falseness of theoretical coherence as establishing and blessing theory rather than grounding it in data. Ungrounded theoretical coherence is just a scholarly way of saying logical conjecture uncontrolled by facts is always neat and tidy given the good minds doing it. But it hardly means that the conjecture has any relationship to what is going on, and most often does not! This lack of relationship to the real world as is, this forcing the real world as one wants it to be, leads to making GT appear as a waste of time and a subterfuge, if one wants to use prior extant theory. LINCOLN and GUBA's (1985) erudite scholarship, quoting great thinkers, by which they put over their post-positivist naturalist paradigm will not get by the grounded theorist, however overwhelming the bow to idols. He/she has to discover what is going on: whatever it is but without preconception. At core in LINCOLN and GUBA's discussion is just another new set of ungrounded logical conjectures on "what truth is" which is moot and irrelevant to GT conceptions and should not be allowed to remodel it as another QDA. Let the QDA methodologist wrestle with the post-positivist paradigm. [6]
2. Axioms
To firmly found their "naturalist paradigm," LINCOLN and GUBA state its axioms (LINCOLN & GUBA, 1985, pp.36-38). They define axioms "as the set of undemonstrated (and undemonstratable) 'basic beliefs' accepted by convention or established by practice as the building blocks of some conceptual or theoretical structure or system" (p.33). In short these axioms are ungrounded by their words, so are of no use to GT. Yet LINCOLNand GUBA build a naturalist paradigm on these ungrounded conjectures. That is just plain forcing the research model and the data, which GT will have no part of. [7]
Of course, the axioms, like all idealism, sound good and wise, but are (to repeat) ungrounded conjectures. They are LINCOLN and GUBA say:
"realities which are multiple, constructed and holistic, knower and known are interactive, inseparable: only time and context bound working hypotheses are possible; all entities are in a state of mutual simultaneous shaping, so that it is impossible to distinguish causes from effects; inquiry is value-bound" (p.37). [8]
These axiomatic beliefs are just think-ups, ungrounded in research, but honoring idols (critical theorists) that LINCOLN and GUBA are enamored by. They are of no use to GT. GT is just focused on conceptualizing what emerges. If these axioms emerge, fine; if they do not, fine. They cannot be used to force the data as some kind of inalienable laws. GT has left this forcing behind. Naturalist inquiry cannot be allowed to regress and default remodel GT back to what it was trying to correct. [9]
Incidentally the fourth axiom on mutual simultaneous shaping may be getting at a theoretical code that may emerge: that is the random walk model. But LINCOLN andGUBA are very unformulated on this theoretical code that is well-known in hard science inquiries. LINCOLN and GUBA cite fourteen characteristics of operational naturalistic inquiry based on these axioms (pp.39-43, op.cit.) These characteristics compound the conjecturing as oughts or forcings to happen during research. Some are trite, some are just obvious or routine and some are supposedly borrowed from GT. I will go through them, but the reader should keep in mind their preconceived pacing and forcing nature and that a GT researcher just does GT according to whatever emerges as data, as pacing, as substantive codes, as theoretical codes in a substantive area. LINCOLN and GUBA's characteristics restrict the flexibility and autonomy of the researcher to discover GT and should not be allowed to remodel GT to another QDA.
1. Natural setting: "In naturalist settings, realities are wholes that cannot be understood in isolation from their contexts" (p.39). I have said in many of my writings that theoretical codes, like context, must emerge as relevant: earn their relevance (see e.g. GLASER, 1998). They cannot be assumed or forced. I have seen many grounded theories that do not have context as a theoretical code and they are not lacking. "Wholes" also force the data. Whether or not the conceptions or categories depict "wholes" or dimensions of "wholes" is also emergent relative to the core variable and its resolving the main concern. "Wholes" is a pure QDA descriptive rule. [10]
2. Human instrument: NI
"elects to use him/herself as well as others as the primary data gathering instrument. Human instrument is capable of grasping and evaluating the meaning of differential interaction. All instruments are value based and interact with local values, but only the human being is in a position to identify and take into account these resulting biases" (pp.39-40).
This characteristic is trite; we all know this. However it implies only qualitative analysis is done, which is ok for QDA, but not for GT. GT uses all as data, quantitative and qualitative, and often differential meanings and values biases are of no relevance, and if so they are just more data. It depends on what data is used in what combination and what emerges. Thus GT should not be remodeled into thinking that humans as instruments, differential meanings and value biases ARE ALWAYS an issue. Let us see first, and not force these issues. [11]
3. Utilization of tacit knowledge: Here LINCOLN and GUBA legitimate what in their view is subjective: nuances, intuition and feelings, as opposed to language expressed data, because tacit knowledge mirrors the interaction, multiple realties and value patterns of the researcher. For GT when relevant these are just more variables, but only when they earn their relevancy into a grounded theory. So ok, but emergent and not always. They are NOT to be forced by examinations when not relevant. And once made relevant they are as much a manifest data for category generation as any other. They are not tacit! We see here, in this characteristic, the beginnings of the constructivist approach of LINCOLN and GUBA. [12]
4. Qualitative methods: "N uses qualitative over quantitative methods because they are more adaptable to dealing with multiple realties" (p.40) and the effect of researcher posture and values on data collected. This is trite and redundant for QDA researchers who are committed to qualitative data. This is moot for GT because of its abstracting the data to conceptual categories on whatever is emerging. [13]
5. Purposive sampling: "N is likely to eschew random or representative sampling in favor of purposive or theoretical sampling because he or she thereby increases the scope or range of data exposed" (p.40). LINCOLN and GUBA say that purposive sample is an effort to uncover multiple realties, local conditions, local mutual shapings and local values in order to devise grounded theory. This is a classic example of borrowing GT jargon to put over a QDA method approach and one that forces the search for specific descriptions: multiple realities, and local conditions, shapings and values. Their search is for required, preconceived grounded descriptions, not emergent conceptual theory. Their impact is to remodel GT to a QDA method. [14]
6. Inductive data analysis: "N prefers inductive to deductive data analysis because that process is more likely to identify" (p.40) their preconceived, required descriptions cited above in 5. LINCOLN and GUBA continue that induction is "more likely to describe fully the setting and to make decisions about transferability to other settings easier" (p.40). Here they clearly are descriptive, not conceptual, oriented. And they conceive of generalizing as transferring descriptions from one unit to another unit. This does not apply to GT, which engages in conceptual generalizing (see GLASER, 2001). [15]
7. Grounded theory: "N prefers to have the guiding substantive theory emerge from the data because no a priori theory could possible encompass" (p.41) the preconceived required description cited above in 5. Once again GT is jargonized to be applied to grounded descriptions of investigator values, contextual values, multiple realities, and their other descriptive concerns. This use of the word GT has nothing to do with conceptual GT as originated, BUT has had a large remodeling effect in QDA research. It tries to establish grounded description as GT, when it is rather the opposite. Also they do not refer to any procedures upon which GT as description is generated. [16]
8. Emergent design: "N elects to allow the research design to emerge rather than to construct it preordinately because it is inconceivable that enough could be known ahead of time" (p.41) about their preconceived, require descriptions cited in 5. This is, of course, the spirit and approach of pure GT, BUT of course, a jargonized use for descriptions not GT. LINCOLN and GUBA again borrow GT jargon, not substance. GT lets whatever emerge as data and then is conceptualized into categories. GT does NOT seek a special emergent, as LINCOLN and GUBA wish, to force to get, say: a trustworthy multiple reality or local value. [17]
9. Negotiated outcomes:
"N prefers to negotiate meaning and interpretation with human sources from which the data have chiefly been drawn because it is their constructions of reality that the inquirer seeks to reconstruct because inquiry outcomes depend upon the nature and quality of the interaction between knower and the known" (p.41).
This, of course refers to LINCOLN and GUBA's (1985) constructivist orientation, which I analyzed in the above citation. Constructionism is NOT GT, but could emerge in a small amount of cases as just more categories. LINCOLN and GUBA's constructivist orientation applies in their case to accurate description, not the conceptualizations of GT. [18]
10. Case study reporting mode: "NI is likely to prefer the case study reporting mode because it is more adapted to a description of" (pp.41-42) the preconceived, required descriptions cited in 5. It flies in the face of theoretical sampling as a pure GT procedure where many cases can be sampled. And also their affirmation seems to conflict with their notion of purposive sampling as stated in 5 above. This characteristic is trite for QDA researchers and GT researchers. It is what they do anyway.
How this case focus "provides the focus for both individual naturalist generalization and transferability to other sites" (p.41) is irrelevant for GT conceptual generalizations and a difficult task for descriptive generalization between units. [19]
11. Idiographic interpretation: "N is inclined to interpret data idiographically in terms of the particulars of case rather than nomothetically in terms of lawlike generalizations because different interpretations are likely to be meaningful for" (p.42) their preconceived, required descriptions cited in 5 above. This statement is irrelevant for GT conceptions, unless LINCOLN and GUBA consider "lawlike generalization" (p.42) as a synonym for conceptualization. Then it once again remodels GT to a QDA method for description. I will let the QDA methodologist worry about the obtuse meaning in 11, unless, again, it just resolves to constructivist thought. If so see my paper of constructivism cited above (GLASER, 2002b). [20]
12. Tentative application: "N is likely to be tentative (hesitant) about making broad application of the findings because realities are multiple and different, because finding are to some extent dependent upon the particular interaction between investigator and respondents ..." (p.42). Here we have the descriptive generalization problem (see GLASER, 2001, Chapter 7), which is a description about one unit be applied (same as generalization) to another unit. Transferability is a big QDA problem, oft debated. This has nothing to do with pure GT, which generalizes concepts, e.g. the study of client control in a veterinarian hospital applies to any area where client control exists—always with some modification by constant comparison if necessary. QDA methodologists seem to not understand this difference in generalization and hence their difficult non-concise generalizing arguments compared to the ease of GT generalizing. [21]
13. Focused determined boundaries: "N is likely to set boundaries to the inquiry on the basis of the emergent focus because that permits the multiple realities, etc, to define the focus because focus setting can be more closely mediated by the investigator-focus interaction etc." (p.42).This sounds emergent, but is actually not. Boundaries are set by achieving the preconceived required descriptions cited in 5, which is a forced resolution to the research. This is diametrically opposed to the boundaries of pure GT, which are based on emergent theoretical saturation, constant delimiting, selective coding, theoretical sampling, core variable analysis, analytic rules and theoretical completeness. In short GT boundaries are based on emergence from the procedures of generating, in contrast to NI's approach to gathering descriptions on the preconceived items cited in 5 as boundary making. [22]
14. Special criteria for trustworthiness: "N is likely to find the conventional trustworthiness criteria (internal and external validity, reliability and objectivity) inconsistent with the axioms and procedures of naturalistic inquiry" (pp.42-43). I have dealt with LINCOLN and GUBA's view of credibility at length in "The Grounded Theory Perspective II" (GLASER, 2003, Chapter 9). In short it does not apply to GT, and should not be allowed to remodel GT. [23]
In sum, these characteristics of NI based on its axioms provide the foundation for their fuller elaboration in the remaining chapters of the NI-book. They are quite genuine for NI as a QDA method, HOWEVER when allowed, at points, to sweep GT into them as a QDA method, they unmercifully remodel GT. The result is that GT as an abstract conceptualizing method to generate theory is lost—totally lost. And further GT becomes subject to all the criteria for achieving worrisome accuracy of description, which do not apply, but have grave remodeling effects on GT. [24]
3. More Details
This inquiry seeks to explore and explain how a group of teachers engage in policy implementation and aims to capture the dynamics of policy implementation from a qualitative and interpretive perspective. This descriptive exploration brings to light how qualitative research can inform policy implementation at a micro-level. These 14 characteristics are actually for experienced QDA methodologists rather simple, redundant and trite. They have been faced constantly in QDA research and methodology writings and in worrisome accuracy problems long before LINCOLN and GUBA wrote them up (see for example the extensive reference list, pp.318 to 330, in MILES & HUBERMAN [1994]).LINCOLN and GUBA elaborate on them at great length in a scholarly way in the remaining chapters of their book. I intend to skip and dip in these chapters to show yet again where GT is remodeled unmercifully by their QDA orientation. [25]
Of course, I cannot analyze the remodeling of GT in each page of each chapter or this paper would itself become a book. I intend to give the idea of the style of remodeling conducted by GUBA and LINCOLN: a fractured style of multiple requirements at each moment in the research that is diametrically opposed to the autonomous flexibility of GT procedures to allow maximum emergence. LINCOLN and GUBA's apparent openness to the methods of emergence and to grounding is shut down constantly with the overwhelming multiple requirements of control. [26]
The blocking of details will not be new to the reader. They will just be more grounded so the latent remodeling of GT pattern will leave few doubts. This will help GT researchers, who wish not to get swept up by naturalist inquiry and wish to handle the discussion with those researchers for whom NI is the path. Remember, as worthy a QDA method as NI is, it should not be allowed to co-opt and corrupt GT as originated. It should not borrow GT jargon and rhetoric to legitimate its very different procedures. [27]
3.1 Paradigms
Harkening back to the beginning of this paper, the way people think is the way they want to know—a paradigm. It is the way they in which wish to make sense, to analyze. It is their worldview and normative "taken for granted" control of action. It is their unquestioned assumptions about life. A paradigm needs a methodology to arrive at "scientific" data. NI methodology, which provides LINCOLN and GUBA their science, contrasted with GT methodology is just quite different. It should not remodel GT as better or best. [28]
NI wishes accurate description of the action regarding knowing and GT wants conceptualization of fundamental latent patterns occurring in the action. Their respective methodologies are different and result in different levels of abstraction. NI's methodology has a built-in, taken for granted, unquestioned assumptions many of which are directly linked to positivism, whatever their claims to a post-positive methodology. They are descriptive properties, the prime one being worrisome accuracy of descriptive findings. Another is the difficulty of unit generalization, because finding enough similarity between studied unit and another unit to generalize to is a troublesome task. Multiple realities, interaction-interpretation data and context feed into specifying accuracy and so do member checking and auditing. Value free in description is a problem no matter what the descriptive paradigm. [29]
NI's approach to these descriptive issues are all inimical to the GT paradigm, it deals in concepts abstract of description's of time, place and people and therefore it produces conceptual hypotheses. GT methodology stands on it own as a way to generate conceptual theory, or as a way of thinking conceptually. Thus applying NI to GT is remodeling and a takeover coming from assuming GT is a QDA method. Arguments over which paradigm to use and its methodology is useless. Neither fails, they are just different in their pursuit of different products. A merger between them will inevitably remodel GT as NI is a very popular ascendant QDA methodology. [30]
Even as it tries to correct, the positivist grab of NI is shackling even though it claims post-positivism. It is deeply involved in credibility or trustworthiness—worrisome accuracy—objectivity and value free data problem and generalizability. It complies with positivism just to get to the "facts." The writing of NI is tight details, bogged down in endless scholarship with no conceptual mastery. NI methodology is descriptive capture to the maximum as it quests its own legitimization. [31]
GT legitimization stands on its own as grounded categories generated from data that it explains, not describes. It is an abstract of the rhetorical wrestles of NI in pursuit of establishing the credibility of its descriptive accuracy. GT is detachable from the data that it was generated from; it endures as conceptually general long after the collected data is stale from change. NI, of course, in its quest for accuracy is not detachable from the data it is describing and soon the description becomes stale. [32]
Conceptual meaning of GT comes from the discovered latent patterns and pattern maintenance as the theory gets built up to a multivariate theory. The GT conceptual meanings persist and then perhaps are modified when the data changes or gets stale. NI meanings come from description of joint researcher-participants interactions and interpretations and change if they can keep up with descriptive changes. But usually they become stale with the data. This puts pressure on finishing a NI descriptive dissertation before the growing stale problem occurs. GT, of course, endures virtually forever and does not force premature finishing of a dissertation or research manuscript. Furthermore the generality of NI units is potentially a highly stale situation, whereas GT generality of concepts endures forever. [33]
The preempting progression of NI description from pre-positivism through positivism to post-positivism seems controversial for GT when it is kept conceptual and not remodeled to a QDA method. Paradigm changes in researchers are slow and almost imperceptible. Therefore the novice is more open to the learning the GT paradigm for quickly taking it on and rigorously applying it in research. It is hard for those previously trained in QDA to change their paradigm from a QDA orientation to a GT orientation, because the skill levels and the latent learning curves are so different: descriptive skill procedures contrasted with ability to use conceptualizing procedures. NI remodeling GT, again, is a great loss to the latter. [34]
3.2 Research design
LINCOLN and GUBA assert from the start of their book "what it means to design an NI study in view of our insistence that the design cannot be given a priori, but must emerge as the study proceeds" (p.225). This certainly sounds like the GT approach, but sounding is as far as its goes before the clamp down (forcing) for trustworthy description becomes their concern. They suggest ten design elements that would clearly derail a pure GT. They are as follows:
1. "Determining a focus for the inquiry": This appears at first glance that they suggest having a substantive area in focus as in pure GT. But no they intend to not let a problem emerge. They assert that no inquiry can be conducted in the absence of a focus. For LINCOLN and GUBA the focus is on a professional problem, or an evaluation or policy. This is an a priori focus. Whereas in GT the problem emerges (see GLASER, 1998, Chapter 8).
Determining a problem on an a priori focus provides for a NI inquiry (1) the boundaries of the study or the proper terrain of the inquiry and (2) determines the inclusion-exclusion criteria for new data. Of course, GT boundary and inclusions are emergent solely on theoretical saturation of categories and their properties, and delimiting tactics for data collection—theoretical sampling and data analysis, theoretical completeness, memo bank saturations, open to selective coding, etc. These GT procedures tap emergence. The LINCOLN and GUBA NI focus forces a priori boundaries. Remember that GT is emergently bounded and the data is bounded by the generated theory. A QDA description, like that from NI, can be endless without forcing bounding criteria which are required to judge an end to the research which is paradoxically called full description. GT emergent boundaries are built on relevance and fit, while NI boundaries, being arbitrary, easily give descriptive non-valence data, however much the human or professional interest. For GT, data inclusion is always emergent as theoretical sampling continues for the emergent categories. To buy into the a priori NI focus would severely block pure GT.[35]
2. "Determining fit of paradigm to focus": According to LINCOLN and GUBA the paradigm has axioms, or basic beliefs, and they must be adhered to in the focus of a research. If NI is the paradigm of choice, they say, the initial design should reflect consideration of the axioms. This is quite an order for a researcher to keep in mind. It imposes a complex ideology to implement at the same time as the inquiry proceeds. Compared to GT, this is an inordinate non-grounded forcing of the research, if the reader can remember the fourteen axioms cited above. GT's axiom is simple: let's see what is going on and it's, "whatever emerges."
For example, LINCOLN and GUBA say: "First, is the phenomenon something about which respondents are not likely to be forthcoming" (p.229). Or can we trust the respondents to tell it like it is, so we get NI. This is irrelevant for GT, it is what is emerging—properline data—and it resolves the respondents' "conflict in interests" if there is even a conflict. "Half-truths or falsehoods that respondents supply," "suspect of deception, lies or fronts may characterize an inquiry scene" (p.231) and these bother LINCOLN and GUBA. They compromise their worrisome accuracy or in their terms "trustworthiness." For GT this is excellent data on what is going on e.g. organizational cover-ups or automobile sales.
The occurrence of conditional constraints that block NI, like untoward standards of an audience or committee, are just more data for GT on what is going on. The latent control becomes a category in the more comprehensive generated theory. [36]
3. "Determining the fit of inquiry paradigm to the substantive theory selected to guide the inquiry": This is only okay for GT when using a substantive GT with emergent fit to the new data, not to a paradigm. NI can go either way: using an extant theory or letting one emerge. The extant theory can be a GT or just a forced one. LINCOLNand GUBA say "it is important to assess the degree of fit between paradigm and substantive theory" (p.232). Fit to a paradigm, not to the data, legitimates received theory application a priori. This is clearly inimical to GT. Even a GT that does not have emergent fit to the new data can be characterized as a forcing theory even though it fits the GT paradigm. [37]
4. "Determining where and from whom data will be collected": NI identifies the phenomenal group wished to be studied and then it goes for descriptive redundancy—informational isomorph—or getting new information reaches diminishing returns. Again GT is not bounded by such criteria. GT goes for theoretical conceptual saturation of categories not redundancy and theoretical sampling goes for site spreading (see GLASER, 1998, Chapter 10, op cit) once the initial site for research is saturated. [38]
5. "Determining successive phases of the inquiry": NI has three phases: "orientation and overview," "focused exploration" and the "member check." There are significant overlaps between these phases. One can be doing one at the same time as the other, while providing a timeline for each. GT procedures are not phased as such. GT procedures are cycled and go on simultaneously, sequentially, subsequently, serendipitously and scheduled when possible. This phasing emerges with the theory as it drives the research. For example, some researchers discover the core category at the beginning and go directly to selective coding and some do not discover it until much later in the research after much theoretical sampling, saturation and memoing. [39]
6. "Determining instrumentation": LINCOLN and GUBA say "the instrument of choice is the human. The human is the initial and continuing mainstay" (p.236). The human may be one or a team of persons. Composing teams and then their continual training for improvement is an issue for LINCOLN and GUBA. For GT, whatever instruments that bring results are used; and they are always used by the researcher, who is human. So what LINCOLN and GUBA are saying goes without saying, but with flexibility for GT. What is clear also is that the constant perfecting of human instruments by supervision and mutual scrutiny by equals for LINCOLN and GUBAis a constraining, stifling condition for GT flexibility.
Perfecting human instruments also is part of the LINCOLN and GUBA's driving quest for trustworthiness demanded by them, which is not relevant for GT conceptualizations. Tight control over their human instruments sounds too bureaucratic and stultifying for GT discovery. It is in stark contrast to the autonomy given to the GT researcher, who is not characterized as an instrument, but as just a researcher interested in generating a substantive theory. This talk about "instrument" sounds very positivistic to be a view of credibility. LINCOLN and GUBAsay "the human instrument provides an easy way to obtain member checks to make apparently non-credible data credible" (pp.239-240). These problems of worrisome accuracy do not apply to GT conceptualization. [40]
7. "Planning data collection and recording": LINCOLN and GUBA agree to all forms of data collection and focus on fidelity and structure. While they like the fidelity of taping and video, they see the benefit, as in GT, of the non-threatening and selective nature of field notes. But they have a purpose for description, not conceptualization, so their view of field notes tends to the accuracy idea, not latent pattern discovery.
Regarding the structure, though LINCOLN and GUBA start with open interviews they wish to get to constructing "detailed and specific interview and observational protocols, so they can check off pre-structured responses" (p.240). In contrast, GT theoretical sampling varies constantly in openness and some light structure is there to help theoretically conceptual saturation, only to open up again as other categories are pursued. This is part of the constant cycling of the research as memos are built up and matured. [41]
8. "Planning data analysis procedures": LINCOLN and GUBA say that "data analysis will be carried out in an open-ended way following the steps called in the 'constant comparative method'" (p.241). I reviewed their remodel of the constant comparative method in a paper (see GLASER, 2002a, Chapter 10, op cit.). They compare for description purposes using negatives; they do not compare to conceptualize whatever emerges as in GT. They are consistent with GT in their suggestion that NI begins with the very first data collection. [42]
9. "Planning for logistics—the project as a whole, field excursions both prior to entering and while in the field, following activities, and closure and termination" (p.242). This section deals in heavy detail with schedules, budget, policy boards, peer debriefing, external audit. The reader can see that LINCOLN and GUBArequire that oversight again is tight control and stifling in the name of trustworthiness. This may be contrasted to GT research in which casual development and progress based on emergence is designed into the flexibility, on sight judgment and autonomy of a GT researcher or research team. [43]
10. "Planning for trustworthiness": The major issue for LINCOLN and GUBA is trustworthiness. In the preface they state: "Chapter 11 raises the thorny issue of trustworthiness. Why should the reader of an inquiry report believe what is said there?" On page 287, LINCOLN and GUBA introduce Chapter 11 (after much beating up the issue at every turn before this page) with the following paragraph:
"All the while the naturalist must be concern with trustworthiness. In the final analysis, the study is for naught if it trustworthiness is questionable. Activities such as maintaining field journals, mounting safeguards against common distortions, arranging for on-site team interactions, triangulating data gather referential adequacy materials, doing debriefings, and developing and maintaining an audit trail are all directed either to increasing the probability that trustworthiness will result or to making it possible to assess the degree of trustworthiness after the fact." [44]
At the beginning of Chapter 11 LINCOLN and GUBA described their dreaded fear—accusations of untrustworthiness: "the naturalist inquiry soon becomes accustomed to hearing charges that naturalist studies are undisciplined: that he or she is guilty of 'sloppy' research, engaging in 'merely subjective' observations, responding indiscriminately to the 'loudest bangs or brightest lights'" (p.289). The reader can read this extensive detailed chapter on how to establish 1. truth value, 2. applicability, 3. consistency and 4. neutrality. The synonyms for trustworthiness abound unmercifully and incessantly on how to achieve this desired "objective" trustworthiness. [45]
LINCOLN and GUBA say at the end of Chapter 11: "The techniques discussed in the preceding pages apply specifically to the establishment of credibility, transferability, dependability and confirmability" (p.327). As an afterthought they add in even three more trustworthy making techniques. The techniques vary on the odious harassment of routine QDA researchers, if they care to follow them. [46]
I will let the QDA methodologists take on LINCOLN and GUBA, as well they might to save the credibility of qualitative description from this worrisome accuracy onslaught by these doubt sewers of honest researchers and their best efforts. Here we return to the purpose of this article, which is to show the remodeling of GT by QDA approaches, so as to extricate it from the ascendant QDA methodology. LINCOLN and GUBA have no sense of what data really is; they still buy positivist objectivity and therefore are so worried about accuracy. Their preface statement and subsequent assertions on trustworthiness are sociologically and simply naïve! First socially structured vested fictions run the world. If the reader doubts this, he/she should take on his/her local structures fictions with truth and see how far they get socially and personally. The power of these fictions are a functional requirement of social organization. Due process changes are infrequent. [47]
Second, in view of these social fictions, predominant data received in field work, documents, videos etc. is properline data and vague data and not far behind is professionally interpreted data (see GLASER, 1998, op cit) The researcher can trust to not get baseline or true data. The researcher will not get what is actually going on usually, but will get the properline data on how to see it, how to interpret it and how to blur it with vagaries. For the GT researcher this is what is going on to maintain current social organization. From this data he/she generates an abstract theory to explain action in the substantive area, because this kind of data is system maintenance data. I have read many GT papers that in arriving at conceptualization of the latent patterns—categories—they can show the actuality of goings on by its properlining. [48]
I will leave to the QDA researchers to decide what kind of accuracy descriptions they will arrive at from these inaccurate forms of data. And I leave it up to them whether or not they refer to the incessant, extensive discussion of LINCOLN and GUBA to achieve their goal, to wit they say:
"The case study mode lends itself well to the full description that will be required to encompass all of the facets and make possible understanding on the part of a reader judgments about the trustworthiness of such a process, which cannot be made with conventional criteria: criteria devised especially for and demonstrably appropriate to NI are required" (pp.359-60). [49]
But to toss out these forms of data inaccuracy is a great loss to GT, if it is remodeled by NI. Since "all is data" for GT, these data must be used. [50]
Withstanding the LINCOLN and GUBA scholarly flower talk is not easy for GT. NI strictures will crush, bash, coopt and corrupt the innocent GT researcher, who does not yet understand the process of constant modification by proliferation of properties of categories using the constant comparative method of conceptualization and all the procedures by which it is supported, especially conceptual saturation, delimiting and theoretical sampling. NI will ruin a good GT by default remodeling. LINCOLN and GUBAfoster this outcome by constantly seeding their book with GT jargon and remodeling some GT procedures. NI derails conceptual purpose, with the time wasting of excessive data collection, descriptive analysis and the constant myriad of "checks" on accuracy, such as audit trails, member checks, logs, etc., etc. [51]
Let me give a brief example of how GT is modified to include more data, which apparently makes it look inaccurate, but increases explanatory power. In a general theory of cautionary control Barry GIBSON (1997) has generated a hypothesis from his dentaling data—the more intensively formulated the rules of cautionary control, the greater of the growing deviance from the rules that varies by a typology of implementors. If one looks to the operating room one can say that the greater the rules of cautionary control the greater the compliance with them, by adding visibility and the strictness of enforcement because of dire consequences. [52]
So we have the variable of adherence to cautionary rules varying from growing deviance to growing compliance. Airport security is somewhere in the middle but we need data. We have here exampled the power of modification increasing the explanatory power of a GT on cautionary control. Indeed, accuracy is moot here: a non-issue and to have applied it would have mushed the GT to untrustworthy in contrast to modifications increasing its explanatory power. [53]
NI has put the sociology of worrisome accuracy on the map. Then LINCOLN and GUBAtook on the self-appointed task to course the route to it: they call it trustworthiness. Then they implied by default and by express clarity that the research was not worthy of belief without it, so best follow their course! Let, I say again, the QDA methodologists stave off this of their routine research. All I can say here is that GT is not immune to this doubt sewing, until seen in its pure conceptual light—conceptual theory—and not as another QDA method. I am saying to the reader: Do not let NI remodel GT and block pure GT research. [54]
LINCOLN and GUBA in their zeal for accuracy do not realize what data truly is, its variable true kind of accuracy for social organization and their distortion of absolute accuracy.LINCOLN and GUBA do not understand the abstract freedom of conceptualization from time, place and people. In advocating their throttling credibility framework they to not understand the humble nature of researchers in the field just trying their best with limited resources. Nor do they understand their abuse of consumer's intelligence and ability to judge their complex trustworthiness, to screen descriptions through their culture and position perspectives and to take things tentatively or under advisement until more data occur. Consumer care is not mentioned once in their book and what is the research for, if not for them! GT considers at length all these problems. [55]
Much of this may not be understood by the reader without a thoughtful reading of and a returning referencing to my books: "Theoretical Sensitivity" (GLASER, 1978), "Doing Grounded Theory" (GLASER, 1998) and "The Grounded Theory Perspective" (GLASER, 2001). I keep trying to pierce, to get to essentials and to summarize LINCOLN andGUBA's massive, detailed, non-conceptual onslaught. I am sure the reader has my incessant point in mind. To continue writing up in this paper the detailed analysis in my memo bank on trustworthiness techniques would be too extensive. However in interest of the reader, I would return to the same point: leave GT out of NI. GT is not for excessive techniques for establishing accuracy of findings, it is not for replicable description. It is simply for conceptual theory induction and constant modification. It does not require the prolonged fieldwork and culture soaking of QDA methods for description and especially the lengthy rigorous techniques of assuring credibility offered in NI. [56]
QDA researchers and GT researchers do the best they can within their skill level. To worry about dishonesty in routine research is an insult to the responsible, honesty level of researchers. They say that member checks, logs and auditing prevent researchers from altering data to suit their theory. If altering does occur in an isolated case, there is little to protect us against it anyway, until corrected by future research, if then. Trust in the researcher is a research value that applies absolutely. Of course in GT, unlike NI, there is no temptation to alter data to suit theory, since the theory is generated inductively from the data. Data is not forced to fit a theory. In GT, theory is not generated based on preconceived professional wish and career opportunism. [57]
GT is always as good as far as it goes and is then modified by constant comparison with more data. It produces stable enduring concepts with immense grab. For example, the category of pseudo-friending as a form of client control is spawning theory extensions in many areas. It is easily generalizable to many situations of people control. Categories are reifications with good fit, but still can be changed to rename the same latent pattern. Modification not accuracy is the issue. I prefer the category of credentializing, others like licensing, degreeing, permitting or qualifying, but the pattern is the same. [58]
4. Mutual Shaping
LINCOLN and GUBA (1985) write a very erudite chapter on a critique of causality. They state: "why scientists have been enamored of the causality concept ... if causes are the key to prediction and control, knowledge of causes is tantamount to power" (p.129). Their critique of many definitions of causality: deterministic, linear, necessary, sufficient, multiple, timing is fine. They come up with the concept of mutual simultaneous shaping as a replacement. It refers to
"everything influences everything else in the here and now. Many elements are implicated in any given action, and each element interacts with all of the others that change them all, while simultaneously resulting in something that we label as outcomes or effects. But the interaction has no directionality, no need to produce that particular outcome, it simply happened as a product of the mutual shaping" (p.151). [59]
Thus LINCOLN and GUBA (1985) still keep the preoccupation with causality, but in their way. In GT we call mutual shaping the interaction of effects; it was, originated by LAZARSFELD and used at Columbia University 20 or more years before LINCOLN andGUBA's description. If they had read "Theoretical Sensitivity" (GLASER, 1978), they would see it as just another theoretical code. So much for their eruditeness—lacking and selective. [60]
From the point of view of GT their preoccupation with causality is a pet theoretical code for themselves and their referred others. It is forcing the theory that may be integrated by possibly many other theoretical codes. In "Theoretical Sensitivity" I listed 18 theoretical coding families. In "Doing Grounded Theory" (GLASER, 1998) I listed some more. There are still more. Which one to use in GT is a question of emergence during sorting of memos. Theoretical codes must earn their relevance as all variables in GT. Causality, however defined, is just one. The most popular one. A frequent pet to some researchers is basic social process. Our book on "Awareness of Dying" (GLASER & STRAUSS, 1967) was built on a typology code that emerged. A recent dissertation I read (BROWN, 1996) was based on the binary code. Some coding is just a range, a degree or dimensional. It depends. Again I can only warn that NI can remodel GT into a search for causality and severely restrict its generation of theory. [61]
Lastly, LINCOLN and GUBA (1985) state that "phenomenon of study, ... take their meaning as much from contexts as they do from themselves" (p.189, italics in original). This, again, is a forcing of a theoretical code for GT, however well it may work for NI. How a context influences a latent pattern—a category—regarding meaning is emergent, not forced. Meaning for GT may come from wherever it may be discovered. Contextualizing meaning may or may not be relevant for a theory's explanation of how a main concern is continually resolved. [62]
5. Grounded Theory
LINCOLN and GUBA demoted GT to just a consequence of the more general NI paradigm, ostensibly to put it into perspective, but latently to bury as just a QDA method that should follow NI. Although they refer to it virtually everywhere in their book, they give it merely four direct pages of discussion. Their discussion remodels GT automatically to a descriptive QDA method. They say "Grounded Theory, that is theory that follows from data rather than preceding them, is a necessary consequence of the naturalistic paradigm that posits multiple realities and makes transferability dependent on local contextual factors" (pp.204-205). We obviously had something else, very different in mind when codifying GT methodology in "The Discovery of Grounded Theory" (GLASER & STRAUSS, 1967). The "something else," which was our purpose and paradigm, is so far from NI paradigm that it is not worth spending time on. The differences are founded in the contrast between description and conceptualization and run wide and deep. [63]
LINCOLN and GUBA consider GT as "local" theory, which has a descriptive implication and that is all. All substantive GTs have general implication far beyond the more local population used in the research. They are a foundation for developing formal theory to follow on the general implications as more data is compared into the theory. Also if site spreading theoretical sampling (see GLASER, 1998) is used the data goes far beyond local. Actually it is hard to restrain generalizing of the concepts of a substantive theory before an emergent fit is achieved. [64]
LINCOLN and GUBA have no skill in handling their cited two attacks on GT: 1. "GT is inadequate because it is underdetermined because given a set of facts it is always open to multiple interpretation and can be extended indefinitely" (p.207). These are descriptive properties not relevant to conceptualization. GT discovers and conceptualizes the latent patterns of what is going on. It is always relevant. If a GT is accused as being interpretive, which is probably meaningless, it is a very relevant interpretation. I have not seen more that one theory emerge at any time in a research. Also as discussed above indefinite extension is wrong. GT is bounded by its delimiting properties. But like all theory, whether grounded or not, new research can extend it by modification. 2. "Second, it is argued that Grounded Theory is impossible to devise, because the raw data are themselves facts only within the framework of some other (perhaps implicit) theory. Thus a theory can only discover itself. That facts are 'theory-laden seems to be well accepted among epistemologists" (p.207). This attack by LINCOLN and GUBA, a tautology, is meaningless and purely destructive. It goes nowhere. It makes GT meaningless, since it misses the point that GT conceptualizes data, but does not describe it. [65]
Clearly this short, direct, rather empty treatment of GT combined with the prolific use of its jargon throughout their book and remodeling of its procedures in the rest of the book indicates the lack of LINCOLN and GUBA's study of the GT books and their lack of experience in doing GT. [66]
6. Final Comment
By now the reader has the idea, so I will stop this analysis of differences that could go on for many, many more pages, which could result in a book of contention like my "Basics of Grounded Theory Analysis" (GLASER, 1992). At every turn LINCOLN and GUBA's conception of NI co-opts and corrupts NI's use of GT terminology and procedures. It remodels by default GT to just another descriptive QDA method. For GT, constructionism and value-free are just more variables in the data, causality which they call mutual shaping is just another theoretical code which may or may not emerge to integrate the description or conceptualization. "The only generalization is that there is no generalization," LINCOLNand GUBA say in their Chapter 5 (p.110), which is both trite and an admission that generalization is very difficult to establish in QDA. For GT conceptual generalization is easy and frequent. "Establishing trustworthiness" (Chapter 11) takes credibility to an extreme degree—auditing and member checking—and none of their positions apply to GT (see above on credibility). [67]
While a worthy QDA method, NI cannot be allowed to remodel GT at every turn. Under the guise of detailed, incessant scholar affirmations, LINCOLN and GUBA have co-opted, corrupted, mauled and mugged GT for their own purposes without any experience in actually doing a GT as originated. The genuine "grab" of GT—the idea and the terminology—has made its use quite productive to some and highly exploitable by others. [68]
References
Brown, Brene (1996). Acompanar: A Grounded Theory of Developing, Maintaining and Assessing Relevance in Professional Helping. Dissertation, University of Houston.
Gibson, Barry (1997). Dangerous Dentaling: A Grounded Theory of HIV and Dentistry. Dissertation, School of Dentistry, Queen's University of Belfast.
Glaser, Barney G. (1978). Theoretical Sensitivity. Advances in the Methodology of Grounded Theory. Mill Valley, Ca.: The Sociology Press.
Glaser, Barney G. (1992). Basics of Grounded Theory Analysis. Mill Valley, Ca.: Sociology Press.
Glaser, Barney G. (1998). Doing Grounded Theory. Issues and Discussions. Mill Valley, Ca.: Sociology Press. URL: http://www.groundedtheory.com/soc13.html.
Glaser, Barney G. (2001). The Grounded Theory Perspective: Conceptualization Contrasted with Description. Mill Valley, Ca.: Sociology Press. URL: http://www.groundedtheory.com/soc14.html.
Glaser, Barney G. (2002a). The Grounded Theory Perspective II. Mill Valley, Ca.: Sociology Press.
Glaser, Barney G. (2002b). Constructivist Grounded Theory? [47 paragraphs]. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research [On-line Journal], 3(3), Art. 12. Available at: http://www.qualitative-research.net/fqs-texte/3-02/3-02glaser-e.htm.
Glaser, Barney G. & Strauss, Anselm L. (1965). Awareness of Dying. Chicago: Aldine Publishing Co.
Glaser, Barney G. & Strauss, Anselm L. (1967). Discovery of Grounded Theory. Mill Valley, Ca.: Sociology Press.
Guthrie, Wendy (2000). Keeping Client In Line: How Veterinarians Control their Clients. Dissertation, University of Strathclyde, Dept of Marketing.
Lincoln, Yvonna & Guba, Egon (1985). Naturalistic Inquiry: London: Sage.
Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael (1994). Qualitative Data Analysis. Thousand Oaks: Sage.
Author
Barney G. GLASER received his BA degree at Stanford 1952. He studied contemporary literature for a year at the Sorbonne, University of Paris, he spent two years in the army one of which was one year in Freiburg, Germany, when he became fluent in German and studied literature at University of Freiburg during off hours. He received his PhD from Columbia University in 1961. He then went to University of California San Francisco, where he joined Anselm STRAUSS in doing the dying in hospitals study and in teaching PhD and DNS students methods and analysis. He then published his dissertation as a book "Organizational Scientists: Their Professional Careers" and published over 20 articles on this research and the dying research. Then "Awareness of Dying" was written in 1965 and immediately became a resounding success. When asked, we wrote the "Discovery of Grounded theory" in 1967 to show how the dying research was done. Another big success! Then followed two more books on dying and one on chronic illness and one on status passage with STRAUSS. Since then GLASER has written 13 more books using and about grounded theory. Most are now published by Sociology Press. He has written countless articles. In 1998 he received an honorary doctorate from Stockholm University, Sweden. His works are read throughout the world.
Contact:
Barney G. Glaser PhD, Hon PhD
POB 400
Mill Valley, Ca 94942
USA
Phone: 415 388 8431
Fax: 415 381 2254
E-mail: bglaser@speakeasy.net
URL: http://www.groundedtheory.com/
Citation
Glaser, Barney G. (2003). Naturalist Inquiry and Grounded Theory [68 paragraphs]. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research, 5(1), Art. 7, http://nbn-resolving.de/urn:nbn:de:0114-fqs040170.
Revised 10/2009

Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif

Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitaif
Pengertian Penelitian Kualitatif
Menurut Strauss dan Corbin (1997: 11-13), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan (Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2)
Konsep dan Ragam Penelitian Kualitatif
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miler (1986: 9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas.
Di pihak lain kualitas menunjuk pada segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Pemahaman yang demikian tidak selamanya benar, karena dalam perkembangannya ada juga penelitian kualitatif yang memerlukan bantuan angka-angka seperti untuk mendeskripsikan suatu fenomena maupun gejala yang diteliti.
Dalam perkembangan lebih lanjut ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif (Noeng Muhadjir. 2000: 17) seperti : interpretif grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian postpositivisme phenomenologik interpretif.
Berdasarkan beragam istilah maupun makna kualitatif, dalam dunia penelitian istilah penelitian kualitatif setidak-tidaknya memiliki dua makna, yakni makna dari aspek filosofi penelitian dan makna dari aspek desain penelitian.
Pengertian penelitian kualitatif lainnya:
“Qualitative research is a loosely defined category of research designs or models, all of which elicit verbal, visual, tactile, olfactory, and gustatory data in the form of descriptive narratives like field notes, recordings, or other transcriptions from audio- and videotapes and other written records and pictures or films.” –Judith Preissle
Penelitian kualitatif juga disebut dengan: interpretive research, naturalistic research, phenomenological research (meskipun ini disebut sebagai jenis dari penelitian kualitaif yang dipakai penelitian deskriptif).
Perbedaan Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Penelitian untuk membuktikan atau menemukan sebuah kebenaran dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu kantitatif maupun kualitatif. Kebenaran yang di peroleh dari dua pendekatan tersebut memiliki ukuran dan sifat yang berbeda.
Pendekatan kuantitatif lebih menitik beratkan pada frekwensi tinggi sedangkan pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi sedangkan hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi.
Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan terori-teori sosial sedangkan hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.
Perbedaan klasik antara kualitatif dan kuantitatif
Qualitative Research Quantitative Research
• phenomenological
• inductive
• holistic
• subjective/insider centered
• process oriented
• anthropological worldview
• relative lack of control
• goal: understand actor’s view
• dynamic reality assumed; “slice of life”
• discovery oriented
• explanatory • positivistic
• hypothetico/deductive
• particularistic
• objective/outsider centered
• outcome oriented
• natural science worldview
• attempt to control variables
• goal: find facts & causes
• static reality assumed; relative constancy in life
• verification oriented
• confirmatory
Diadaptasi dari Cook and Reichardt (1979)
Tetapi kesimpulan di sini masih terdapat dikotomi karena tidak menerangkan karakter khusus dari masing-masing jenis penelitian.
Metode Kuantitatif menggunakan angka-angka dan data staistik, seperti: experiments, correlational studies using surveys & standardized observational protocols, simulations, supportive materials for case study.
Yang biasanya ditandai dengan: 1. Observe events, 2. Tabulate, 3. Summarize data, 4. Analyze, 5. Draw conclusions
Sedangkan kualitatif menggunakan deskripsi dan kategori dalam wujud kata-kata, seperti: open-ended interviews, naturalistic observation (common in anthropology), document analysis, case studies/life histories, descriptive dan self-reflective supplements to experiments serta correlational studies.
Dengan ciri-ciri umum:
1. Observe events (ask questions with open-ended answers)
2. Record/log what is said and/or done
3. Interpret (personal reactions, hypotheses, monitor methods)
4. Return to observe
5. Formal theorizing (speculations and hypotheses)
6. Draw conclusions
Tiga proses yang dipakai
1. Detail tapi open-ended interviews
2. Observasi langsung
3. Menulis dokumen (dengan kata bukan angka)
Ditinjau dari sisi kemudahan
• kuantitatif, cukup dengan menggunakan software statistik tertentu lewat media komputer (meski harus tetap mengetahui proses statistik).
• Kualitatif, menganalisis konsep-konsep (bukan hanya satu prosedur)
• Kualitatif menggunakan banyak buku sebagai sumber analisa.
• Kuantitatif, cukup dengan mempelajari 2-3 artikel.
Sumber: http://qualitativeresearch.ratcliffs.net
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat ilmiah dan juga sistematis sebagaimana penelitian kuantitatif sekalipun dalam pemilihan sample tidak seketat dan serumit penelitian kuantitatif.
Dalam memilih sample penelitian kualitatif menggunakan teknik non probabilitas, yaitu suatu teknik pengambilan sample yang tidak didasarkan pada rumusan statistik tetapi lebih pada pertimbangan subyektif peneliti dengan didasarkan pada jangkauan dan kedalaman masalah yang ditelitinya.
Lebih lanjut pada penelitian kualitatif tidak ditujukan untuk menarik kesimpulan suatu populasi melainkan untuk mempelajari karakteristik yang diteliti, baik itu orang ataupun kelompok sehingga keberlakukan hasil penelitian tersebut hanya untuk orang atau kelompok yang sedang diteliti tersebut.
Perbedaan Antara Penelitian Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif
Kebutuhan pemahaman yang benar dalam menggunakan pendekatan, metode ataupun teknik untuk melakukan penelitian merupakan hal yang penting agar dapat dicapai hasil yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya. PErbedaan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yaitu:
1. Konsep yang berhubungan dengan pendekatan
Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir; oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis.
Pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi variable masing-masing. Reliabilitas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya hipotesa dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan tahapan-tahapan berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan penafsiran angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan kulturalnya.
2. Dasar Teori
Jika kita menggunakan pendekatan kualitatif, maka dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Pada mulanya teori-teori kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi , etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena teori-teori ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu social lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.
Lain halnya dengan pendekatan kuantitatif, pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.
3. Tujuan
Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”.
Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variable, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya.
4. Desain
Melihat sifatnya, pendekatan kualitatif desainnya bersifat umum, dan berubah-ubah / berkembang sesuai dengan situasi di lapangan. Kesimpulannya, desain hanya digunakan sebagai asumsi untuk melakukan penelitan, oleh karena itu desain harus bersifat fleksibel dan terbuka.
Lain halnya dengan desain penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, desainnya harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya. Desainnya bersifat spesifik dan detil karena desain merupakan suatu rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebenarnya. Oleh karena itu, jika desainnya salah, hasilnya akan menyesatkan. Contoh desain kuantitatif: ex post facto dan desain experimental yang mencakup diantaranya one short case study, one group pretest, posttest design, Solomon four group design dll.nya.
5. Data
Pada pendekatan kualitatif, data bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada jsaat penelitian dilakukan.
Sebaliknya penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif datanya bersifat kuantitatif / angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berbentuk variable-variajbel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio.
6. Sampel
Sampel kecil merupakan ciri pendekatan kualitatif karena pada pendekatan kualitatif penekanan pemilihan sample didasarkan pada kualitasnya bukan jumlahnya. Oleh karena itu, ketepatan dalam memilih sample merupakan salah satu kunci keberhasilan utama untuk menghasilkan penelitian yang baik. Sampel juga dipandang sebagai sample teoritis dan tidak representatif
Sedang pada pendekatan kuantitatif, jumlah sample besar, karena aturan statistik mengatakan bahwa semakin sample besar akan semakin merepresentasikan kondisi riil. Karena pada umumnya pendekatan kuantitatif membutuhkan sample yang besar, maka stratafikasi sample diperlukan . Sampel biasanya diseleksi secara random. Dalam melakukan penelitian, bila perlu diadakan kelompok pengontrol untuk pembanding sample yang sedang diteliti. Ciri lain ialah penentuan jenis variable yang akan diteliti, contoh, penentuan variable yang mana yang ditentukan sebagai variable bebas, variable tergantung, varaibel moderat, variable antara, dan varaibel kontrol. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat melakukan pengontrolan terhadap variable pengganggu.
7. Teknik
Jika peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, maka yang bersangkutan kan menggunakan teknik observasi terlibat langsung atau riset partisipatori, seperti yang dilakukan oleh para peneliti bidang antropologi dan etnologi sehingga peneliti terlibat langsung atau berbaur dengan yang diteliti. Dalam praktiknya, peneliti akan melakukan review terhadap berbagai dokumen, foto-foto dan artefak yang ada. Interview yang digunakan ialah interview terbuka, terstruktur atau tidak terstruktur dan tertutup terstruktur atau tidak terstruktur.
Jika pendekatan kuantitatif digunakan maka teknik yang dipakai akan berbentuk observasi terstruktur, survei dengan menggunakan kuesioner, eksperimen dan eksperimen semu. Dalam mencari data, biasanya peneliti menggunakan kuesioner tertulis atau dibacakan. Teknik mengacu pada tujuan penelitian dan jenis data yang diperlukan apakah itu data primer atau sekunder.
8. Hubungan dengan yang diteliti
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti tidak mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan yang dibangun didasarkan pada saling kepercayaan. Dalam praktiknya, peneliti melakukan hubungan dengan yang diteliti secara intensif. Apabila sample itu manusia, maka yang menjadi responden diperlakukan sebagai partner bukan obyek penelitian.
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan ini seperti hubungan antara subyek dan obyek. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang tinggi. Pada umumnya penelitiannya berjangka waktu pendek.
9. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisa kualitatif ialah analisa domain, analisa taksonomi, analisa komponensial, analisa tema kultural, dan analisa komparasi konstan (grounded theory research).
Analisa dalam penelitian kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dll.nya.
Kesimpulan
Kedua pendekatan tersebut masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Pendekatan kualitatif banyak memakan waktu, reliabiltasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku, desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti.
Pendekatan kuantitaif memunculkan kesulitan dalam mengontrol variable-variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap proses penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk menciptakan validitas yang tinggi juga diperlukan kecermatan dalam proses penentuan sample, pengambilan data dan penentuan alat analisanya.

Memilih Penelitian Kualitatif: Sebuah Primer untuk Peneliti Teknologi Pendidikan
Marie C. Hoepfl
Sejumlah penulis telah berkomentar tentang kelangkaan penelitian substantif dalam bidang pendidikan teknologi, dan titik untuk perluasan agenda penelitian sebagai sarana untuk memperkuat disiplin. Waetjen, dalam panggilan-Nya untuk penelitian baik di bidang pendidikan teknologi, menyatakan bahwa "permohonan adalah menggunakan jenis penelitian eksperimental sebanyak mungkin" (1992, hal 30). Menariknya, tiga bidang penelitian perlu dijelaskan dalam esainya semua akan meminjamkan diri untuk metodologi alternatif, termasuk metodologi kualitatif.
Baru-baru ini, yang lain telah menyerukan perluasan jenis metode penelitian yang digunakan. Dari 220 laporan termasuk dalam's review Zuga pendidikan yang berhubungan dengan riset teknologi (1994), hanya 16 yang diidentifikasi memiliki menggunakan metode kualitatif, dan catatan Zuga bahwa banyak dari mereka penelitian dilakukan di luar Amerika Serikat. Johnson (1995) menunjukkan bahwa pendidik teknologi "terlibat dalam penelitian yang probe untuk pemahaman yang lebih dalam daripada menimbang fitur permukaan." Dia mencatat bahwa metodologi kualitatif adalah alat yang kuat untuk meningkatkan pemahaman kita mengajar dan belajar, dan bahwa mereka telah "memperoleh penerimaan meningkat dalam beberapa tahun terakhir" (hal. 4).
Ada alasan kuat untuk pemilihan metodologi kualitatif dalam arena penelitian pendidikan, namun banyak orang masih terbiasa dengan metode ini. Para peneliti dilatih dalam penggunaan desain kuantitatif menghadapi tantangan nyata ketika diminta untuk menggunakan atau mengajar penelitian kualitatif (Stallings, 1995). Ada, bagaimanapun, tubuh tumbuh sastra yang ditujukan untuk penelitian kualitatif dalam pendidikan, beberapa yang disintesis di sini.Tujuan artikel ini adalah untuk menguraikan alasan untuk memilih metodologi kualitatif, dan untuk memberikan pengenalan dasar dengan fitur dari jenis penelitian.
Paradigma Penelitian Kualitatif Kuantitatif Versus
Para peneliti telah lama memperdebatkan nilai relatif dan kuantitatif penyelidikan kualitatif (Patton, 1990). penyelidikan fenomenologis, atau penelitian kualitatif, menggunakan pendekatan naturalistik yang berusaha untuk memahami fenomena dalam konteks pengaturan khusus. positivisme logis, atau penelitian kuantitatif, menggunakan metode eksperimental dan ukuran kuantitatif untuk menguji generalisasi hipotesis. Masing-masing mewakili penyelidikan paradigma yang berbeda secara fundamental, dan tindakan peneliti didasarkan pada asumsi yang mendasari paradigma masing-masing.
penelitian kualitatif, didefinisikan secara luas, berarti "setiap jenis penelitian yang menghasilkan temuan tidak tiba di dengan menggunakan prosedur statistik atau cara lain dari kuantifikasi" (Strauss dan Corbin, 1990, hal 17). Dimana mencari penentuan peneliti kuantitatif kausal, prediksi, dan generalisasi dari temuan, peneliti kualitatif, bukan mencari pencerahan, pemahaman, dan ekstrapolasi untuk situasi yang sama. Analisis kualitatif menghasilkan jenis pengetahuan yang berbeda daripada penyelidikan kuantitatif.
Eisner menunjukkan bahwa semua pengetahuan, termasuk yang diperoleh melalui penelitian kuantitatif, yang dirujuk dalam kualitas, dan bahwa ada banyak cara untuk mewakili pemahaman kita tentang dunia:
Ada semacam kontinum yang bergerak dari fiksi yang "benar"-novel misalnya-untuk th e sangat dikontrol dan kuantitatif dijelaskan percobaan ilmiah. Bekerja di salah satu ujung kontinum ini memiliki kapasitas untuk menginformasikan secara signifikan. penelitian kualitatif dan evaluasi terletak menjelang akhir dari kontinum fiktif tanpa fiksi dalam arti sempit istilah Eisner 1991,, hlm 30-31).
Ini gema sentimen bahwa dari penulis sebelumnya. Cronbach (1975) menyatakan bahwa "tugas khusus dari ilmuwan sosial di setiap generasi adalah untuk pin down fakta kontemporer. Selain itu, ia saham dengan sarjana humanistik dan seniman dalam upaya untuk memperoleh informasi tentang hubungan kontemporer" (hal. 126).
Cronbach mengklaim bahwa penelitian statistik tidak dapat memperhitungkan efek interaksi banyak yang terjadi dalam pengaturan sosial. Dia memberikan beberapa contoh empiris "hukum" yang tidak terus benar dalam pengaturan yang sebenarnya untuk menggambarkan hal ini. Cronbach menyatakan bahwa "waktunya telah datang untuk mengusir hipotesis null," karena mengabaikan efek yang mungkin penting, tetapi yang tidak signifikan secara statistik (1975, hal 124). penyelidikan kualitatif menerima dan dinamis kualitas kompleks dunia sosial.
Namun, tidak perlu ke pit kedua paradigma terhadap satu sama lain dalam sikap bersaing. Patton (1990) menganjurkan suatu "paradigma pilihan" yang berusaha "kesesuaian metodologi sebagai kriteria utama untuk menilai kualitas metodologis. " Ini akan memungkinkan untuk "tanggap situasional" yang ketaatan satu paradigma atau yang lain tidak akan (hal. 39). Selain itu, beberapa peneliti percaya bahwa penelitian kualitatif dan kuantitatif secara efektif dapat dikombinasikan dalam proyek penelitian yang sama (Strauss dan Corbin, 1990; Patton, 1990). Sebagai contoh, Russek dan Weinberg (1993) mengklaim bahwa dengan menggunakan kedua data kuantitatif dan kualitatif, penelitian mereka tentang bahan berbasis teknologi untuk kelas dasar memberikan wawasan bahwa baik jenis analisis dapat menyediakan sendiri.
Dasar Penggunaan suatu Metodologi Kualitatif
Ada beberapa pertimbangan saat memutuskan untuk mengadopsi metodologi penelitian kualitatif. Strauss dan Corbin (1990) mengklaim bahwa metode kualitatif dapat digunakan untuk lebih memahami setiap fenomena tentang yang sedikit belum diketahui. Mereka juga dapat digunakan untuk mendapatkan perspektif baru pada hal-hal yang banyak yang sudah dikenal, atau untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam yang mungkin sulit untuk menyampaikan secara kuantitatif. Dengan demikian, metode kualitatif yang tepat dalam situasi di mana satu perlu terlebih dahulu mengidentifikasi variabel yang lambat mungkin diuji secara kuantitatif, atau dimana peneliti telah menetapkan bahwa tindakan kuantitatif tidak cukup untuk menjelaskan atau menafsirkan situasi. Penelitian masalah cenderung dibingkai sebagai-berakhir pertanyaan terbuka yang akan mendukung penemuan informasi baru. 1994 studi Greene perempuan dalam perdagangan, misalnya, bertanya, "Apa ciri-ciri pribadi yang tradeswomen memiliki kesamaan perdagangan? Dalam hal apa, jika ada, peran itu model kontribusi perempuan terhadap pilihan untuk bekerja di?"
(P. 524a).
Kemampuan data kualitatif untuk lebih menggambarkan suatu fenomena adalah suatu pertimbangan penting tidak hanya dari sudut pandang peneliti, tetapi dari sudut pandang pembaca juga. "Jika Anda ingin orang untuk memahami lebih baik dari mereka jika mungkin, menyediakan mereka informasi dalam bentuk di mana mereka biasanya mengalami hal itu" (Lincoln dan Guba, 1985, hal 120) laporan penelitian kualitatif., biasanya kaya dengan detail dan wawasan ke peserta 'pengalaman dunia, "mungkin epistemologis selaras dengan pengalaman pembaca" (Stake, 1978, hal 5) dan dengan demikian lebih bermakna.
Fitur Penelitian Kualitatif
Beberapa penulis telah mengidentifikasi apa yang mereka anggap sebagai ciri-ciri menonjol kualitatif, atau naturalistik, penelitian (lihat, sebagai contoh:Bogdan dan Biklen, 1982; Lincoln dan Guba, 1985; Patton, 1990; Eisner, 1991.) Daftar yang mengikuti merupakan sintesis penulis deskripsi ini penelitian kualitatif:
1. penelitian kualitatif menggunakan pengaturan alam sebagai sumber data. Peneliti mencoba untuk mengamati, menggambarkan dan menafsirkan pengaturan seperti mereka, menjaga apa yang Patton panggilan sebuah "netralitas empati" (1990, hal 55).
2. Peneliti bertindak sebagai "instrumen manusia" pengumpulan data.
3. terutama peneliti kualitatif menggunakan analisis data induktif.
4. laporan penelitian kualitatif deskriptif, menggabungkan bahasa ekspresif dan "kehadiran suara dalam teks" (Eisner, 1991, hal 36).
5. penelitian kualitatif memiliki karakter interpretif, yang ditujukan untuk menemukan peristiwa makna "bagi individu yang mengalaminya, dan interpretasi dari makna oleh peneliti.
6. peneliti kualitatif memperhatikan istimewa serta meresap, mencari keunikan masing-masing kasus.
7. penelitian kualitatif memiliki (sebagai lawan yang telah ditentukan) desain muncul, dan peneliti fokus pada proses ini muncul sebagai serta hasil atau produk penelitian.
8. penelitian kualitatif dinilai menggunakan kriteria khusus untuk dipercaya (ini akan dibahas secara rinci pada bagian selanjutnya).
Patton (1990) menunjukkan bahwa ini bukan "karakteristik mutlak penyelidikan kualitatif, tetapi cita-cita strategis yang memberikan arah dan kerangka kerja untuk mengembangkan desain tertentu dan taktik pengumpulan data konkret" (hal. 59). Karakteristik ini dianggap "saling berhubungan" (Patton, 1990, hal 40) dan "saling menguatkan" (Lincoln dan Guba, 1985, hal 39).
Adalah penting untuk menekankan sifat muncul desain penelitian kualitatif. Karena peneliti berusaha untuk mengamati dan menafsirkan makna dalam konteks, adalah tidak mungkin dan tidak tepat untuk menyelesaikan strategi penelitian sebelum pengumpulan data telah dimulai (Patton, 1990). Proposal penelitian kualitatif harus, bagaimanapun, tentukan pertanyaan-pertanyaan primer untuk dijelajahi dan rencana untuk data koleksi strategi.
Desain khusus dari studi kualitatif tergantung pada tujuan penyelidikan, informasi apa yang akan paling bermanfaat, dan informasi apa yang akan memiliki kredibilitas yang paling. Tidak ada kriteria yang ketat untuk ukuran sampel (Patton, 1990). "Penelitian kualitatif biasanya menggunakan berbagai bentuk ....[ bukti dan] tidak ada uji statistik penting untuk menentukan apakah 'hasil' count" (Eisner, 1991, hal 39). Hukum tentang manfaat dan kredibilitas yang diserahkan kepada peneliti dan pembaca.
Peran Peneliti di Inquiry Kualitatif
Sebelum melakukan studi qualtitative, seorang peneliti harus melakukan tiga hal. Pertama, (s) ia harus mengambil sikap yang disarankan oleh karakteristik paradigma naturalis. Kedua, para peneliti harus mengembangkan tingkat keterampilan yang sesuai untuk instrumen manusia, atau kendaraan melalui data yang akan dikumpulkan dan diinterpretasikan. Akhirnya, para peneliti harus mempersiapkan desain penelitian yang memanfaatkan diterima strategi untuk penyelidikan naturalistik (Lincoln dan Guba, 1985).
Glaser dan Strauss (1967) dan Strauss dan Corbin (1990) merujuk pada apa yang mereka sebut "sensitivitas teoritis" peneliti. Ini adalah konsep yang berguna yang dapat digunakan untuk mengevaluasi peneliti keterampilan dan kesiapan untuk mencoba melakukan penyelidikan kualitatif.
kepekaan teoritis mengacu pada kualitas pribadi peneliti. Hal ini menunjukkan kesadaran seluk-beluk makna data. ... [Ini] mengacu pada atribut memiliki wawasan, kemampuan untuk memberi makna pada data, kemampuan untuk memahami, dan kemampuan untuk memisahkan yang bersangkutan dari apa yang tidak (Strauss dan Corbin, 1990, hal 42) .
Strauss dan Corbin percaya bahwa kepekaan teoritis berasal dari sejumlah sumber, termasuk literatur profesional, pengalaman profesional, dan pengalaman pribadi. Kredibilitas laporan penelitian kualitatif sangat bergantung pada kepercayaan pembaca miliki dalam peneliti kemampuan untuk peka terhadap data dan untuk membuat keputusan yang tepat dalam bidang (Eisner, 1991; Patton, 1990).
Lincoln dan Guba (1985) mengidentifikasi karakteristik yang membuat manusia itu "alat pilihan" untuk penyelidikan naturalistik. Manusia responsif terhadap isyarat lingkungan, dan mampu berinteraksi dengan situasi; mereka memiliki kemampuan untuk mengumpulkan informasi pada tingkat secara bersamaan, mereka dapat melihat situasi secara holistik, mereka mampu memproses data secepat mereka menjadi tersedia; mereka dapat memberikan umpan balik langsung dan meminta verifikasi data; dan mereka bisa menjelajahi atau tidak terduga tanggapan atipikal.
Penelitian Desain dan Strategi Pengumpulan Data
Eisner (1991) mengklaim ada "kekurangan resep metodologis" untuk penelitian kualitatif, karena pertanyaan seperti tempat premi pada kekuatan peneliti bukan pada standardisasi (hal. 169). Lincoln dan Guba (1985) memberikan garis besar yang cukup rinci untuk desain penyelidikan naturalistik, yang meliputi langkah-langkah umum:
1. Menentukan fokus penyelidikan. Hal ini harus menetapkan batas untuk penelitian, dan memberikan inklusi / kriteria eksklusi untuk informasi baru. Batas, bagaimanapun, dapat diubah, dan biasanya berada.
2. Tentukan sesuai paradigma penelitian untuk fokus penelitian. Peneliti harus membandingkan karakteristik paradigma kualitatif dengan tujuan penelitian.
3. Menentukan di mana dan dari siapa data akan dikumpulkan.
4. Tentukan apa yang berturut-turut fase penyelidikan akan,. Tahap satu untuk misalnya, mungkin fitur-berakhir pengumpulan data terbuka, sedangkan fase berturut-turut akan lebih terfokus.
5. Tentukan apa yang instrumentasi tambahan dapat digunakan, di luar peneliti sebagai instrumen manusia.
6. Rencana pengumpulan data dan mode perekaman. Ini harus termasuk bagaimana spesifik pertanyaan penelitian dan rinci akan, dan bagaimana data akan setia direproduksi.
7. Rencana yang prosedur analisis data yang akan digunakan.
8. Rencana logistik pengumpulan data, termasuk penjadwalan dan penganggaran.
9. Rencana teknik yang akan digunakan untuk menentukan kepercayaan.
Langkah satu dan dua telah dibahas dalam bagian sebelumnya, langkah berikutnya akan dibahas di bawah ini.
Sampling Strategi untuk Peneliti Kualitatif
Dalam penyelidikan kuantitatif, strategi sampling dominan adalah probability sampling, yang tergantung pada pemilihan dan perwakilan sampel acak dari populasi yang lebih besar. Tujuan sampling probabilitas generalisasi berikutnya dari temuan penelitian untuk penduduk. Sebaliknya, purposive samplingmerupakan strategi yang dominan dalam penelitian kualitatif. purposive sampling mencari kaya kasus informasi yang dapat dipelajari secara mendalam (Patton, 1990).
Patton mengidentifikasi dan menggambarkan 16 jenis purposive sampling. Ini termasuk: kasus menyimpang sampling atau ekstrim; sampling kasus yang khas; sampling variasi maksimum; snowball sampling atau rantai; konfirmasi atau disconfirming kasus sampling; politik sampling kasus penting, convenience sampling, dan lain-lain (1990, hal 169-183). Menurut Lincoln dan Guba (1985), yang berguna strategi yang paling untuk pendekatan naturalistik adalah variasi sampling maksimum. Strategi ini
bertujuan untuk menangkap dan menggambarkan tema pusat atau hasil pokok yang melintasi banyak atau program variasi peserta. Untuk sampel kecil banyak heterogenitas dapat menjadi masalah karena kasus-kasus individu sangat berbeda satu sama lain. Variasi maksimum strategi sampling jelas ternyata bahwa kelemahan menjadi kekuatan dengan menggunakan logika berikut: Setiap pola umum yang muncul dari variasi yang besar adalah dari kepentingan tertentu dan nilai dalam menangkap pengalaman inti dan pusat, aspek bersama atau dampak dari program (Patton, 1990, p. 172).
variasi sampling maksimum dapat menghasilkan deskripsi rinci dari setiap kasus, di samping untuk mengidentifikasi pola-pola bersama yang memotong kasus. Lihat Hoepfl (1994) untuk sebuah ilustrasi strategi ini diterapkan untuk pendidikan riset teknologi. Beberapa contoh studi kasus sampling juga dapat ditemukan dalam literatur pendidikan teknologi (lihat Brown, 1995; Hansen, 1995; dan Lewis, 1995 dan 1997)
Terlepas dari fleksibilitas tampak dalam purposive sampling, peneliti harus menyadari tiga jenis sampling error yang dapat timbul dalam penelitian kualitatif.Yang pertama berkaitan dengan distorsi yang disebabkan oleh luasnya kurang dalam sampling, yang kedua dari distorsi yang diperkenalkan oleh perubahan dari waktu ke waktu, dan yang ketiga dari distorsi yang disebabkan oleh kurangnya kedalaman dalam pengumpulan data pada setiap lokasi (Patton, 1990).
Teknik Pengumpulan Data
Dua bentuk yang berlaku pengumpulan data yang terkait dengan penyelidikan kualitatif adalah wawancara dan observasi.
Wawancara
wawancara kualitatif dapat digunakan baik sebagai strategi utama untuk pengumpulan data, atau dalam hubungannya dengan pengamatan, analisis dokumen, atau teknik lain (Bogdan dan Biklen, 1982). Wawancara kualitatif menggunakan pertanyaan terbuka yang memungkinkan untuk setiap variasi.Patton (1990) menulis tentang tiga jenis kualitatif wawancara: 1) informal, wawancara percakapan; 2)-wawancara semi terstruktur, dan 3) wawancara, standar terbuka.
Sebuah panduan wawancara atau "jadwal" adalah daftar pertanyaan atau topik umum yang pewawancara ingin menjelajahi selama wawancara masing-masing. Walaupun siap untuk memastikan bahwa pada dasarnya informasi yang sama diperoleh dari setiap orang, tidak ada tanggapan yang telah ditentukan, dan dalam wawancara semi-terstruktur pewawancara bebas untuk probe dan mengeksplorasi di daerah-daerah penyelidikan yang telah ditentukan. panduan Wawancara menjamin penggunaan baik waktu wawancara terbatas, mereka membuat mewawancarai beberapa mata pelajaran yang lebih sistematis dan komprehensif, dan mereka membantu untuk menjaga interaksi fokus. Sesuai dengan sifat fleksibel desain penelitian kualitatif, panduan wawancara dapat dimodifikasi dari waktu ke waktu untuk memusatkan perhatian pada area yang penting tertentu, atau untuk mengecualikan pertanyaan peneliti telah ditemukan untuk menjadi tidak produktif untuk tujuan penelitian (Lofland dan Lofland, 1984).
Merekam Data. Keputusan dasar memasuki proses wawancara adalah bagaimana untuk merekam data wawancara. Apakah seseorang mengandalkan catatan tertulis atau tape recorder tampaknya sebagian besar masalah preferensi pribadi. Sebagai contoh, Patton mengatakan bahwa tape recorder adalah "diperlukan" (1990, hal 348), sedangkan Lincoln dan Guba "tidak menganjurkan rekaman kecuali untuk alasan yang tidak biasa" (1985, hal 241). Lincoln dan Guba dasar rekomendasi mereka pada campur tangan perangkat rekaman dan kemungkinan kegagalan teknis. Rekaman memiliki keuntungan data menangkap lebih setia daripada buru-buru catatan tertulis mungkin, dan dapat membuat lebih mudah bagi peneliti untuk fokus pada wawancara.
Pengamatan
Bentuk klasik pengumpulan data atau bidang penelitian naturalistik adalah pengamatan peserta dalam konteks pemandangan alam. Data observasi digunakan untuk tujuan deskripsi-dari pengaturan, aktivitas, orang, dan makna dari apa yang diamati dari perspektif peserta. Pengamatan dapat menyebabkan pemahaman yang lebih dalam dari wawancara saja, karena memberikan pengetahuan tentang konteks di mana peristiwa terjadi, dan dapat memungkinkan peneliti untuk melihat hal-hal yang peserta sendiri tidak menyadari, atau bahwa mereka tidak mau membahas (Patton, 1990). Seorang pengamat terampil adalah orang yang terlatih dalam proses pemantauan baik dan nonverbal isyarat verbal, dan dalam penggunaan beton,, deskriptif bahasa ambigu. Sours '(1997) belajar mengajar dan belajar gaya memberikan contoh yang baik dari bahasa deskriptif diterapkan pada kelas teknologi.
Ada beberapa strategi pengamatan yang tersedia. Dalam beberapa kasus mungkin dan diinginkan bagi peneliti untuk menonton dari luar, tanpa diamati.Pilihan lain adalah untuk menjaga kehadiran pasif, yang seperti tidak mengganggu mungkin dan tidak berinteraksi dengan peserta. Strategi ketiga adalah untuk terlibat dalam interaksi terbatas, intervensi hanya ketika klarifikasi lebih lanjut tindakan yang diperlukan. Atau peneliti dapat melaksanakan lebih kontrol aktif pengamatan, seperti dalam kasus wawancara formal, untuk mendapatkan tipe tertentu informasi. Akhirnya, peneliti dapat bertindak sebagai peserta penuh dalam situasi tersebut, baik dengan atau dikenal identitas tersembunyi. Masing-masing strategi memiliki kelebihan khusus, kekurangan dan keprihatinan yang harus diperiksa dengan teliti oleh peneliti (Schatzman dan Strauss, 1973).
Kehadiran pengamat kemungkinan untuk memperkenalkan distorsi dari pemandangan alam yang peneliti harus sadar, dan bekerja untuk meminimalkan.keputusan kritis, termasuk sejauh mana peneliti identitas dan tujuan akan terungkap kepada peserta, lamanya waktu yang dihabiskan di lapangan, dan teknik observasi khusus yang digunakan, adalah sepenuhnya tergantung pada unik pertanyaan dan sumber daya yang dibawa untuk mempelajari masing-masing. Dalam hal apapun, peneliti harus mempertimbangkan dan etika tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan observasi naturalistik.
Merekam Data. peneliti Bidang mengandalkan paling berat pada penggunaan catatan lapangan, yang telah berjalan dengan deskripsi setting, orang, aktivitas, dan suara. catatan lapangan mungkin termasuk gambar atau peta. Mengakui kesulitan menulis catatan lapangan yang luas selama observasi, Lofland dan Lofland (1984) merekomendasikan menuliskan catatan yang akan berfungsi sebagai alat bantu memori ketika catatan lapangan penuh dibangun. Ini harus terjadi segera setelah pengamatan mungkin, hari yang sama disukai. Selain catatan lapangan, peneliti dapat menggunakan foto, kaset video, dan kaset audio sebagai sarana akurat menangkap sebuah setelan.
Mendapatkan Akses dan Kewajiban Peneliti
Berdasarkan pengalaman mereka dengan penelitian naturalistik, Lofland dan Lofland (1984) percaya bahwa peneliti lebih mungkin untuk mendapatkan akses yang berhasil untuk situasi jika mereka menggunakan kontak yang dapat membantu menghilangkan hambatan untuk masuk, jika mereka menghindari 'responden membuang-buang waktu dengan melakukan terlebih dahulu penelitian untuk informasi yang sudah menjadi bagian dari catatan publik, dan jika mereka memperlakukan responden dengan sopan. Karena peneliti naturalistik meminta peserta untuk "memberikan akses bagi kehidupan mereka, pikiran mereka, [dan] emosi mereka," itu juga penting untuk menyediakan responden dengan deskripsi langsung dari tujuan penelitian (hal. 25).
Lainnya Sumber Data
Satu sumber informasi yang sangat berharga bagi peneliti kualitatif adalah analisis dokumen. Dokumen tersebut mungkin termasuk catatan resmi, surat, rekening koran, buku harian, dan laporan, serta data yang diterbitkan digunakan dalam kajian sastra. Dalam studi tentang guru teknologi dalam pelatihan, Hansen (1995) dianalisis entri jurnal dan memo yang ditulis oleh peserta, selain wawancara. Hoepfl (1994), di ruang kerjanya penutupan program pendidikan guru teknologi, laporan surat kabar digunakan, dokumen kebijakan universitas, dan evaluasi diri-data departemen, jika tersedia, untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara.
Ada beberapa bentuk khusus dari penelitian kualitatif yang hanya mengandalkan pada analisis dokumen. Sebagai contoh, Gagel (1997) menggunakan proses yang dikenal sebagai pertanyaan hermeneutika untuk menyelidiki literatur pada kedua literasi dan teknologi. Patton (1990) memberikan gambaran yang baik dari berbagai orientasi teoritis yang menginformasikan menu "kaya kemungkinan alternatif dalam penelitian kualitatif" (hal. 65).
Memutuskan Kapan Berhenti Sampling
peneliti kualitatif memiliki beberapa pedoman yang ketat ketika untuk menghentikan proses pengumpulan data. Kriteria meliputi: 1) kelelahan sumber daya; 2) munculnya keteraturan, dan 3) overextension, atau pergi terlalu jauh melampaui batas-batas penelitian (Guba, 1978). Keputusan untuk menghentikan pengambilan sampel harus mempertimbangkan tujuan penelitian ini, kebutuhan untuk mencapai kedalaman melalui triangulasi sumber data, dan kemungkinan luasnya lebih besar melalui pemeriksaan berbagai situs sampling.
Analisa Data
Bogdan dan Biklen mendefinisikan analisis data kualitatif sebagai "bekerja dengan data, mengaturnya, melanggar ke dalam satuan dikelola, sintesa itu, mencari pola, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari, dan memutuskan apa yang akan Anda memberitahu orang lain" (1982 , hal 145). peneliti kualitatif cenderung menggunakan analisis data induktif, yang berarti bahwa tema kritis muncul dari data (Patton, 1990); kualitatif. analisis beberapa membutuhkan kreativitas, untuk tantangan adalah menempatkan mentah data ke logis berarti, kategori untuk memeriksa mereka secara holistik, dan untuk menemukan cara untuk berkomunikasi interpretasi ini kepada orang lain.
Duduk untuk mengatur tumpukan data mentah bisa menjadi tugas menakutkan. Hal ini dapat melibatkan ratusan halaman transkrip wawancara, catatan lapangan dan dokumen. Mekanisme penanganan sejumlah besar data kualitatif dapat berkisar dari fisik pemilahan dan penyimpanan slip kertas untuk menggunakan salah satu dari beberapa program perangkat lunak komputer yang telah dirancang untuk membantu dalam tugas ini (lihat Brown, 1996, untuk penjelasan dari salah satu program).
Analisis dimulai dengan identifikasi tema yang muncul dari data mentah, proses kadang-kadang disebut sebagai "open coding" (Strauss dan Corbin, 1990).Selama open coding, peneliti harus mengidentifikasi dan ragu-ragu nama kategori konseptual di mana fenomena yang diamati akan dikelompokkan.Tujuannya adalah untuk membuat deskriptif, kategori multi dimensi yang membentuk kerangka kerja awal untuk analisis. Kata-kata, frase, atau peristiwa yang tampaknya serupa dapat dikelompokkan ke dalam kategori yang sama. Kategori ini dapat secara bertahap diubah atau diganti selama tahap berikutnya analisis yang mengikuti.
Sebagai data mentah dipecah menjadi potongan-potongan diatur, peneliti juga harus menyusun "jejak audit"-yaitu, skema untuk mengidentifikasi potongan-potongan data tersebut sesuai dengan pembicara dan konteksnya. Pengenal khusus dikembangkan mungkin atau tidak dapat digunakan dalam laporan penelitian, tapi speaker biasanya disebut dengan cara yang memberikan rasa konteks (lihat, misalnya, Brown, 1996; Duffee dan Aikenhead, 1992; dansours, 1997); Penelitian Kualitatif. laporan dicirikan dengan menggunakan "suara" dalam teks yang, peserta kutipan yang menggambarkan tema yang sedang dijelaskan.
Tahap berikutnya analisis melibatkan pemeriksaan ulang kategori yang diidentifikasi untuk menentukan bagaimana mereka terkait, proses yang rumit kadang-kadang disebut "axial coding" (Strauss dan Corbin, 1990). Kategori diskrit yang teridentifikasi dalam open coding dibandingkan dan dikombinasikan dalam baru cara sebagai peneliti mulai memasang "gambaran besar." Tujuan dari pengkodean adalah untuk tidak hanya menjelaskan tetapi yang lebih penting, untuk memperoleh pemahaman baru tentang fenomena yang menarik. Oleh karena itu, acara kausal berkontribusi terhadap fenomena tersebut; rincian deskriptif dari fenomena itu sendiri, dan konsekuensi dari fenomena yang diteliti semua harus diidentifikasi dan dieksplorasi. Selama aksial coding peneliti bertanggung jawab untuk membangun model konseptual dan untuk menentukan apakah ada data yang cukup untuk mendukung interpretasi itu.
Akhirnya, para peneliti harus menerjemahkan model konseptual ke dalam alur cerita yang akan dibaca oleh orang lain. Idealnya, laporan penelitian akan menjadi erat, tenun akun kaya yang "mendekati kenyataan itu mewakili" (Strauss dan Corbin, 1990, hal 57). Banyak kekhawatiran seputar penyajian laporan penelitian kualitatif dibahas dalam bagian "Melihat Penelitian Kualitatif" yang berikut.
Meskipun tahapan analisis dijelaskan di sini secara linear, dalam praktiknya mereka dapat terjadi secara bersamaan dan berulang-ulang. Selama aksial coding peneliti dapat menentukan bahwa kategori yang diidentifikasi awal harus direvisi, yang mengarah ke pemeriksaan ulang data mentah. Tambahan pengumpulan data dapat terjadi pada titik apapun jika peneliti menyingkap kesenjangan dalam data,. Bahkan informal, analisis data dimulai dengan pengumpulan dan dapat dan harus membimbing pengumpulan data berikutnya. Untuk rinci namun sangat dimengerti penjelasan lebih dari proses analisis, lihat Simpson dan Tuson (1995).
Produk Analisis Data Kualitatif
Dalam teks klasik mereka Penemuan Teori Beralas, Glaser dan Strauss (1967, /> a) menggambarkan apa yang mereka yakini menjadi tujuan utama penelitian kualitatif: generasi teori, bukan menguji teori atau deskripsi belaka. Menurut pandangan ini, teori bukan "produk disempurnakan" tetapi "-mengembangkan entitas yang pernah" atau proses (hal. 32). Glaser dan Strauss mengklaim bahwa salah satu sifat yang diperlukan teori grounded adalah bahwa hal itu menjadi "cukup umum dapat diterapkan pada banyak situasi yang beragam dalam wilayah substantif" (hal. 237).
Pendekatan grounded theory dijelaskan oleh Glaser dan Strauss merupakan bentuk yang agak ekstrim penyelidikan naturalistik. Hal ini tidak perlu bersikeras bahwa produk penyelidikan kualitatif menjadi teori yang akan berlaku bagi "banyak situasi yang beragam." Contoh dari pendekatan yang lebih fleksibel untuk penyelidikan kualitatif dapat diperoleh dari sejumlah sumber. Sebagai contoh, kedua Patton (1990) dan Guba (1978) menyatakan, dalam kata-kata yang sama, bahwa "penyelidikan naturalistik selalu soal gelar" dari sejauh mana peneliti pengaruh tanggapan dan memaksakan kategori pada data. Semakin "murni" penyelidikan naturalistik, pengurangan kurang dari data ke dalam kategori.
Gambar 1 menggambarkan salah satu interpretasi dari hubungan antara deskripsi, verifikasi, dan generasi teori-atau, dalam hal ini, perkembangan apa Cronbach (1975) menyebut "hipotesis kerja," yang menunjukkan suatu bentuk yang lebih penurut analisis dari kata " teori. " Menurut penafsiran ini, peneliti dapat bergerak antara titik pada deskripsi / kontinum verifikasi selama analisis, namun produk akhir akan jatuh pada satu titik tertentu, tergantung pada sejauh mana itu adalah naturalistik.


Gambar 1. Deskripsi, verifikasi dan generasi hipotesis kerja dalam penelitian kualitatif.
Sesuai dengan sikap naturalistik, peneliti mungkin menyimpulkan bahwa, sejauh bahwa temuan didasarkan pada informasi dari berbagai situasi yang beragam, mereka mungkin akan berlaku untuk area substantif yang lebih besar. Namun, penerapan mereka untuk situasi tertentu sepenuhnya tergantung pada kondisi situasi dan kegunaan dari temuan penelitian untuk pembaca individu.
Menilai Penelitian Kualitatif
Peran Reader yang
Mereka yang berada dalam posisi untuk menilai atau menggunakan temuan penyelidikan kualitatif harus memainkan berbagai jenis peran dari orang-orang yang meninjau penelitian kuantitatif. Hal ini karena "tidak ada kebenaran tes didefinisikan secara operasional dapat diterapkan untuk penelitian kualitatif" (Eisner, 1991, hal 53). Sebaliknya, peneliti dan pembaca "berbagi tanggung jawab bersama" untuk menetapkan nilai produk penelitian kualitatif (Glaser dan Strauss, 1967, hal 232). "Pragmatik validasi [penelitian kualitatif] berarti bahwa perspektif yang disajikan dinilai oleh relevansinya dengan dan digunakan oleh mereka yang itu disajikan: mereka perspektif dan tindakan bergabung untuk [peneliti] perspektif dan tindakan "(Patton, 1990, hal 485).
Eisner (1991) percaya bahwa tiga Berikut adalah beberapa fitur penelitian kualitatif harus dipertimbangkan oleh reviewer:
Coherence: Apakah cerita itu masuk akal? Bagaimana kesimpulan telah didukung? Sejauh mana memiliki beberapa sumber data digunakan untuk memberi kepercayaan kepada interpretasi yang telah dibuat? (Hal. 53).
Terkait dengan koherensi adalah gagasan tentang "menguatkan struktural," juga dikenal sebagai triangulasi (hal. 55).
Konsensus: Kondisi di mana para pembaca sebuah karya setuju bahwa temuan dan / atau interpretasi yang dilaporkan oleh penyidik konsisten dengan pengalaman mereka sendiri atau dengan bukti yang ditunjukkan (hal. 56).
Akhirnya, peninjau harus menilai laporan:
Instrumental Utility: The Tes yang paling penting dari setiap penelitian kualitatif kegunaannya. Sebuah studi kualitatif yang baik dapat membantu kita memahami situasi yang seharusnya dapat membingungkan atau membingungkan (hal. 58).
Sebuah studi yang baik dapat membantu kita mengantisipasi masa depan, bukan dalam arti prediksi kata, tapi sebagai semacam peta jalan atau petunjuk ". Guides" kami memperhatikan aspek-aspek dari situasi atau tempat mungkin kita dinyatakan kehilangan (Eisner, 1991 , p. 59).
Menangani Keandalan dalam Penelitian Kualitatif
Pertanyaan mendasar yang disampaikan oleh pengertian dapat dipercaya, menurut Lincoln dan Guba, sederhana: "Bagaimana seorang penyelidik membujuk atau dia pendengarnya bahwa temuan penelitian dari penyelidikan patut memperhatikan?" (1985, hal 290). Ketika pekerjaan kualitatif menghakimi, Strauss dan Corbin (1990) percaya bahwa "kanon biasa 'ilmu baik' ... memerlukan redefinisi dalam rangka cocok dengan realitas dari penelitian kualitatif" (hal. 250). Lincoln dan Guba (1985, p . 300) telah mengidentifikasi satu alternatif seperangkat kriteria yang sesuai dengan yang biasanya digunakan untuk menilai kerja kuantitatif (lihat Tabel 1).
Tabel 1
Perbandingan kriteria untuk menilai kualitas penelitian kuantitatif versus kualitatif
Istilah Konvensional Naturalistik istilah
validitas internal Kredibilitas
validitas eksternal sifat dpt dipindahkan
keandalan Keteguhan
objektivitas Konfirmabilitas
Smith dan Heshusius (1986) tajam mengkritik para penulis, seperti Lincoln dan Guba, yang mereka yakini telah mengadopsi sikap dari "detente" dengan rasionalis. Mereka sangat marah oleh dan Guba gunanya Lincoln "kriteria sebanding," yang ke mata mereka terlihat sedikit berbeda dari kriteria konvensional mereka seharusnya menggantikan. Dalam kedua kasus, harus ada "kepercayaan pada asumsi bahwa apa yang dikenal-baik itu kenyataan yang ada atau ditafsirkan realitas-berdiri independen penyelidik dan dapat dijelaskan tanpa distorsi oleh penanya" (hal. 6). Smith dan Heshusius mengklaim bahwa penelitian naturalistik dapat hanya menawarkan sebuah "interpretasi dari interpretasi orang lain," dan bahwa untuk mengasumsikan sebuah realitas independen adalah "tidak dapat diterima" bagi peneliti kualitatif (hal. 9).
sikap mereka adalah satu kuat, karena satu-satunya realitas itu menerima adalah pikiran tergantung pada satu sepenuhnya, yang akan bervariasi dari individu ke individu, dalam kata lain, untuk Smith dan Heshusius, tidak ada "di luar sana" di luar sana. Untuk peneliti, tidak mungkin untuk memilih interpretasi terbaik dari antara yang tersedia, karena tidak ada teknik atau interpretasi dapat "epistemologis istimewa" (hal. 9). Untuk mempertahankan posisi ini tampaknya akan meniadakan nilai melakukan penelitian sama sekali, karena melarang kemungkinan mendamaikan interpretasi alternatif.
Oleh karena itu, penting untuk menentukan kriteria konsisten dengan paradigma naturalistik, namun yang memungkinkan untuk suatu pernyataan bahwa "ilmu yang baik" telah dilakukan. Pada bagian berikut, dan naturalistik kriteria konvensional akan dibahas, dengan tujuan memilih kriteria yang sesuai untuk menilai kepercayaan keseluruhan penelitian kualitatif.
Validitas Internal versus Kredibilitas
Dalam penyelidikan konvensional, validitas internal mengacu pada sejauh mana temuan akurat menggambarkan realitas (. Lincoln dan Guba1985) menyatakan bahwa "penentuan isomorfisma tersebut pada prinsipnya tidak mungkin" (hal. 294), karena salah satu harus mengetahui "sifat yang tepat dari realitas" dan, jika satu tahu ini sudah, tidak akan ada perlu mengujinya (hal. 295). Peneliti konvensional harus mendalilkan hubungan dan kemudian menguji mereka, postulat tidak dapat dibuktikan, tetapi hanya memalsukan cukup. Naturalistik Peneliti, di lain pihak, mengasumsikan adanya beberapa realitas dan upaya untuk mewakili beberapa realitas ini. Kredibilitas menjadi tes untuk ini.
Kredibilitas kurang tergantung pada ukuran sampel dari pada kekayaan informasi yang dikumpulkan dan pada kemampuan analitis peneliti (Patton, 1990).Hal ini dapat ditingkatkan melalui triangulasi data. Patton mengidentifikasi empat tipe triangulasi: 1) metode triangulasi; 2) triangulasi data; 3) triangulasi melalui beberapa analis, dan 4) triangulasi teori. Teknik lainnya untuk mengatasi kredibilitas meliputi pembuatan segmen data baku yang tersedia bagi orang lain untuk menganalisis, dan penggunaan "cek anggota," di mana responden diminta untuk menguatkan temuan (Lincoln dan Guba, 1985, hal 313-316).
Validitas Eksternal / generalisasi versus transfer
Dalam penelitian konvensional, validitas eksternal mengacu pada kemampuan untuk menggeneralisasi temuan di setting yang berbeda. Membuat generalisasi mencakup trade-off antara dan eksternal validitas internal (Lincoln dan Guba, 1985). Artinya, dalam rangka untuk membuat pernyataan digeneralisasikan yang berlaku untuk banyak konteks, kita bisa hanya mencakup aspek-aspek terbatas dari setiap konteks lokal.
Lincoln dan Guba (1985) mengakui bahwa generalisasi adalah "sebuah konsep menarik," karena memungkinkan kemiripan prediksi dan kontrol atas situasi (hal. 110-111). Namun mereka berpendapat bahwa adanya kondisi lokal "membuat tidak mungkin untuk menggeneralisasi" (hal. 124). Cronbach (1975) membahas masalah tersebut dengan mengatakan:
Masalahnya, seperti yang saya lihat, adalah bahwa kita tidak dapat menyimpan hingga generalisasi dan konstruksi untuk perakitan akhir ke jaringan. Seolah-olah kita membutuhkan kotor sel kering untuk tenaga mesin dan hanya bisa membuat satu bulan. Energi yang akan bocor keluar dari sel pertama sebelum kami setengah selesai baterai (hal. 123).
Menurut Cronbach, "ketika kita memberikan bobot yang tepat untuk kondisi lokal, setiap generalisasi adalah hipotesis kerja, bukan kesimpulan" (hal. 125).
Dalam paradigma naturalistik, dengan transfer dari hipotesis kerja untuk situasi lain tergantung pada tingkat kesamaan antara situasi asli dan situasi untuk yang ditransfer. Peneliti tidak dapat menentukan pengalihan temuan; ia hanya dapat memberikan informasi yang memadai yang kemudian dapat digunakan oleh pembaca untuk menentukan apakah temuan berlaku untuk situasi baru (Lincoln dan Guba, 1985) untuk lain. penulis yang sama menggunakan bahasa menggambarkan transfer, jika bukan kata itu sendiri. Sebagai contoh, Stake (1978) merujuk pada apa yang ia sebut "generalisasi naturalistik" (hal. 6).Patton menunjukkan bahwa "ekstrapolasi" adalah istilah yang tepat untuk proses ini (1990, hal 489). Eisner mengatakan itu merupakan bentuk dari "generalisasi retrospektif" yang dapat memungkinkan kita untuk memahami masa lalu kita (dan masa depan) pengalaman dengan cara yang baru (1991, hal 205).
Keandalan versus Ketergantungan
Kirk dan Miller (1986) mengidentifikasi tiga jenis keandalan sebagaimana dimaksud dalam penelitian konvensional, yang berhubungan dengan: 1) sejauh mana suatu pengukuran, diberikan berulang kali, tetap sama, 2) stabilitas pengukuran dari waktu ke waktu, dan 3) kesamaan pengukuran dalam jangka waktu tertentu (hal. 41-42). Mereka mencatat bahwa "isu-isu reliabilitas telah menerima sedikit perhatian" dari para peneliti kualitatif, yang bukan fokus pada pencapaian validitas yang lebih besar dalam pekerjaan mereka (hal. 42). Meskipun mereka memberikan beberapa contoh bagaimana keandalan mungkin dipandang dalam pekerjaan kualitatif, esensi dari contoh ini dapat diringkas dalam pernyataan berikut oleh Lincoln dan Guba (1985): "Karena tidak mungkin ada validitas tanpa reliabilitas (dan dengan demikian tidak ada kredibilitas tanpa ketergantungan), demonstrasi mantan cukup untuk menetapkan kedua "(hal. 316).
Namun demikian, Lincoln dan Guba melakukan mengusulkan salah satu ukuran yang mungkin meningkatkan keandalan penelitian kualitatif. Itu adalah penggunaan "audit penyelidikan," di mana tinjauan menguji kedua proses dan hasil penelitian untuk konsistensi (1985, hal 317).
Objektivitas versus konfirmabilitas
kebijaksanaan konvensional mengatakan bahwa penelitian yang bergantung pada ukuran kuantitatif untuk menentukan situasi relatif bebas nilai, dan karena itu objektif. penelitian kualitatif, yang mengandalkan interpretasi dan juga diakui sebagai nilai-terikat, dianggap subjektif. Dalam dunia penelitian konvensional, subjektivitas mengarah pada hasil yang baik tidak dapat diandalkan dan tidak valid. Ada banyak peneliti, bagaimanapun, yang mempertanyakan objektivitas benar tindakan statistik dan, memang, kemungkinan pernah mencapai objektivitas murni sama sekali (Lincoln dan Guba, 1985; Eisner, 1991).
Patton (1990) berpendapat bahwa istilah objektivitas dan subjektivitas telah menjadi "amunisi ideologis dalam perdebatan paradigma." Dia lebih suka "menghindari menggunakan kata baik dan tetap keluar dari perdebatan sia-sia tentang subjektivitas versus objektivitas. "Sebaliknya, ia berusaha untuk" netralitas empati "(hal. 55). Meskipun mengakui bahwa kedua kata tampaknya bertentangan, menunjukkan Patton keluar empati bahwa "adalah sikap terhadap orang satu pertemuan, sementara netralitas adalah sikap terhadap temuan" (hal. 58). Seorang peneliti yang netral mencoba menjadi tidak menghakimi, dan berusaha untuk melaporkan apa yang ditemukan secara seimbang.
Lincoln dan Guba (1985) memilih untuk berbicara tentang "konfirmabilitas" penelitian ". sebuah Dalam arti, mereka mengacu pada derajat yang peneliti dapat menunjukkan netralitas penelitian interpretasi, melalui konfirmabilitas" audit. Ini berarti memberikan jejak audit yang terdiri dari 1) data mentah; 2) catatan analisis;) rekonstruksi dan sintesis produk 3; 4) catatan proses; 5) catatan pribadi, dan 6) informasi perkembangan awal (hal. 320 -321).
Berkenaan dengan obyektivitas dalam riset kualitatif, mungkin berguna untuk menghidupkan ke Phillips (1990), yang mempertanyakan apakah ada benar-benar banyak perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif:
pekerjaan buruk sejenis baik sama akan menyesalkan, dan bekerja baik, baik secara masih-terbaik-hanya tentatif. Tapi baik bekerja di kedua kasus secara obyektif, dalam arti bahwa ia telah dibuka untuk kritik, alasan dan bukti yang ditawarkan pada kedua kasus akan bertahan dicermati serius. Karya-karya akan menghadapi bantahan potensial, dan sejauh mereka telah selamat, mereka akan dianggap sebagai layak penyelidikan lebih lanjut (hal. 35).
Diskusi dan Kesimpulan
Pada peningkatan minat penelitian kualitatif dalam beberapa tahun terakhir waran pemahaman dasar paradigma ini pada bagian dari semua pendidikan peneliti teknologi. Ini gambaran umum metode penelitian kualitatif dan masalah merupakan titik awal hanya untuk mereka yang tertarik menggunakan dan / atau meninjau penelitian kualitatif. Pembaca dapat memilih dari tubuh tumbuh literatur tentang topik untuk panduan lebih lanjut.
Keputusan untuk menggunakan metodologi kualitatif harus dipertimbangkan secara hati-hati; sifatnya, penelitian kualitatif dapat secara emosional berat dan sangat memakan waktu. Pada saat yang sama, dapat menghasilkan informasi yang kaya tidak mungkin diperoleh melalui teknik sampling statistik.
Di masa lalu, mahasiswa pascasarjana merenungkan menggunakan penyelidikan kualitatif diberitahu bahwa mereka harus "menjual" ide untuk anggota komite penelitian mereka, yang mungkin akan memandang penelitian kualitatif sebagai lebih rendah daripada penelitian kuantitatif. Untungnya, di universitas paling bahwa kepercayaan telah berubah, ke titik di mana penelitian kualitatif adalah paradigma pilihan di beberapa sekolah. Meskipun penerimaan ini berkembang, para peneliti baru masih dapat menghadapi kesulitan dalam menemukan penasihat fakultas yang terampil dalam jenis penelitian.
peneliti kualitatif memiliki tanggung jawab khusus untuk mata pelajaran mereka dan pembacanya. Karena tidak ada uji statistik untuk signifikansi dalam penelitian kualitatif, peneliti menanggung beban menemukan dan menafsirkan pentingnya apa yang diamati, dan membangun hubungan yang masuk akal antara apa yang diamati dan kesimpulan yang diambil dalam laporan penelitian. Untuk melakukan semua ini terampil memerlukan pemahaman yang solid tentang paradigma penelitian dan, idealnya, praktek dipandu dalam penggunaan pengamatan kualitatif dan teknik analisis.
Ada banyak desain penelitian yang berguna, seleksi yang tergantung pada pertanyaan penelitian yang diminta. Yang paling penting, pendidik teknologi harus bangkit untuk menantang untuk menemukan dan menggunakan ketat, teknik penelitian yang sesuai yang membahas pertanyaan penting menghadap lapangan.


Referensi
Bogdan, RC, & Biklen, SK (1982). penelitian kualitatif untuk pendidikan: Suatu pengantar teori dan metode. Boston: Allyn dan Bacon, Inc
Brown, DC (1996). Mengapa bertanya mengapa: pola dan tema dari atribusi kausal di tempat kerja. Journal of Industrial Pendidikan Guru, 33(4), 47-65.
Cronbach, LJ (1975, Februari). Di luar dua disiplin ilmu psikologi ilmiah. Amerika Psikolog, 30(2), 116-127.
Duffee, L., & Aikenhead, G. (1992). Kurikulum berubah, evaluasi siswa, dan praktis pengetahuan guru. Ilmu Pendidikan, 76(5), 493-506.
Eisner, EW (1991). Mata tercerahkan: penyelidikan kualitatif dan peningkatan praktik pendidikan. New York, NY: Macmillan Publishing Company.
Gagel, C. (1997). Melek dan teknologi: refleksi dan wawasan untuk keaksaraan teknologi. Journal of Industrial Pendidikan Guru, 34(3), 6-34.
Glaser, BG, & Strauss, AL (1967). Penemuan grounded theory. Chicago, IL: Perusahaan Penerbitan Aldine.
Greene, CK (1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan perempuan untuk bekerja di perdagangan. Disertasi Abstrak International,56(2), 524a.
Guba, EG (1978). Menuju metodologi inkuiri naturalistik dalam evaluasi pendidikan. Monografi 8. Los Angeles: UCLA Pusat Studi Evaluasi.
Hansen, RE (1995). Guru sosialisasi dalam pendidikan teknologi. Jurnal Teknologi Pendidikan, 6(2), 34-45.
Hoepfl, M. (1994). Penutupan guru program pendidikan teknologi: faktor yang mempengaruhi keputusan penghentian.Morgantown, WV: diterbitkan disertasi doktor.
Johnson SD (1995, Spring). Apakah penelitian kita tahan di bawah pengawasan? Jurnal Pendidikan Guru Industri, 32(3), 3-6.
Kirk, J., & Miller, ML (1986). Reliabilitas dan validitas dalam penelitian kualitatif. Beverly Hills: Sage Publications.
Lewis, T. (1997). Dampak teknologi pada pekerjaan dan pekerjaan dalam industri percetakan - implikasi untuk kurikulum kejuruan. Journal of Industrial Pendidikan Guru, 34(2), 7-28.
Lewis, T. (1995). Di dalam tempat kerja keaksaraan inisiatif tiga: kemungkinan dan batas-batas lembaga kejuruan. Journal of Industrial Pendidikan Guru, 33(1), 60-82.
Lincoln, YS, dan Guba, EG (1985). Naturalistik penyelidikan. Beverly Hills, CA: Sage Publications, Inc
Lofland, J., & Lofland, LH (1984). Menganalisis pengaturan sosial. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, Inc
Patton, MQ (1990). Evaluasi kualitatif dan Metode Penelitian (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage Publications, Inc
Phillips, DC (1990). Subjektivitas dan objektivitas: Sebuah penyelidikan objektif. Dalam Eisner dan Peshkin (Eds.) pertanyaan kualitatif dalam pendidikan: Perdebatan terus (hal. 19-37). New York: Guru Tekan College.
Russek, BE, & Weinberg, SL (1993). metode campuran dalam studi penerapan teknologi berbasis bahan di kelas SD. Evaluasi dan Perencanaan Program, 16(2), 131-142.
Schatzman, L., & Strauss, AL (1973). Bidang penelitian. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc
Simpson, M., & Tuson, J. (1995). observasi Menggunakan skala dalam penelitian kecil: Panduan pemula. Edinburgh: Dewan Skotlandia untuk Penelitian dalam Pendidikan. ERIC Dokumen 394991.
Smith, JK, & Heshusius, L. (1986, Januari). Menutup percakapan: akhir kuantitatif kualitatif perdebatan di kalangan-pendidikan. Inquirers Para Peneliti Pendidikan, 15(1), 4-12.
Sours, JS (1997). Sebuah analisis deskriptif pembelajaran pendidikan gaya teknis. University of Arkansas: Tidak diterbitkan disertasi doktor.
Stake, RE (1978, Februari). Studi kasus Metode dalam penyelidikan sosial. Pendidikan Peneliti, 7(2), 5-8.
Stallings, WM (1995, April). Pengakuan dari seorang peneliti kuantitatif pendidikan mencoba untuk mengajar riset kualitatif. Pendidikan Peneliti, 24(3), 31-32.
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Dasar-dasar penelitian kualitatif: teori Beralas prosedur dan teknik. Newbury Park, CA: Sage Publications, Inc
Waetjen, WB (1992, Juni). Membentuk masa depan profesi. Scottsdale, AZ: Paper disajikan pada Simposium Camelback Yayasan Teknis Amerika.
Zuga, KF (1994). pendidikan teknologi Pelaksana: Sebuah tinjauan dan sintesis dari literatur penelitian. Columbus, OH: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kerja.
________________________________________
Hoepfl Marie adalah Asisten Profesor di Departemen Teknologi di Appalachian State University, Boone, NC.